Saya membaca ‘Lapar‘ punyanya Hamsun untuk kali ketiga, awalnya hanya untuk merasakan kembali bagaimana Hamsun membawa tokoh ‘Aku‘ tetap hidup dalam nestapa yang amat luar biasa. Tetapi, seakan belum pernah membaca buku ini sebelumnya, saya menemukan semacam kesadaran baru bahwa Hamsun tidak cuma menulis
tentang seseorang yang berhasil menyelamatkan hidupnya dari siksaan rasa lapar dan godaan maut di Kristiania. Melampaui itu, dia menulis tentang seorang pemuda yang mengambil cara hidup yang hampir ekstrim, melawan eksistensinya sebagai orang miskin, dan secara angkuh merasa bahagia.
Cara Bertahan Hidup ala Hamsun
Hamsun memulai kisah ini dengan sosok yang terjaga pada pagi hari, dan pikiran pertama yang mampir ke kepalanya menyangkut perut. Apakah ada suatu hal yang patut membuatnya gembira? Kita bisa membayangkan mungkin dia sudah tidak makan dari hari sebelumnya, mungkin terbangun dengan bunyi pertama yang dia dengar datang dari perutnya, langsung berpikir tentang makanan. Tampilan awal ini, dengan humornya yang gelap, Hamsun memperkenalkan sebentuk manusia yang miskin tak kira-kira, mengingatkan saya pada orang yang tidur di depan emperan toko dengan kesengsaraan yang sangat nyata.
‘Aku‘ dalam Lapar tinggal di sebuah kamar kosong, yang sewanya sudah telat beberapa hari sehingga dia harus berendap-endap dari induk semangnya, dan dalam narasi yang lembut Hamsun mendekatkannya dengan pengemis jalanan; pukul 6 pagi dalam keadaan masih terbaring dia melihat sebuah iklan dari koran yang melekat di dinding dengan gambar roti, pukul 8 pagi dalam keadaan masih terbaring dia melihat iklan lain tentang kain kafan. Ada semacam benang halus yang sengaja ditarik antara perut dan maut. Bahwa kelaparan adalah ketukan pintu kematian.
Apa yang saya pikir Hamsun sedang menghadirkan tokoh Aku yang angkuh pada kehidupan adalah berupa keganjilan-keganjilan dalam caranya merayakan hidup.
Pertama, dia muak melihat pengemis
Saat sedang berjalan-jalan di tengah kota, dia bertemu seorang miskin lain yang terseok-seok karena pincang. ‘Rupanya seperti seekor serangga besar pincang, yang bertekad membuat tempat bagi dirinya dalam dunia ini dengan kekerasan dan merajalela di atas trotoar’. Demikian dia melihat lelaki tua pincang yang memegang erat bungkusannya. Meskipun sama-sama miskin, tokoh Aku yang lapar ini menolak identifikasi dari penderitaannya. Bagi si Aku, hidup itu penuh dengan keindahaan dan hal-hal yang patut disyukuri. Masalah perut hanya menyangkut makanan. Jika saja dia bisa makan dengan mudah maka dia adalah orang paling bahagia di semesta.
Kedua, si Aku yang belagu
Masih menyangkut pengemis tua pincang di atas, tokoh Aku memberinya uang ketika si tua mengemis padanya. Ini bukan ceroboh lagi, tapi angkuh. Pada beberapa saat lalu dia sedang memikirkan makanan untuk dirinya sendiri, dan sekarang malah berdiri gagah seolah-olah seorang dermawan di hadapan seorang pengemis. Dia sampai harus menggadaikan jasnya. Orang semacam ini unik. Berusaha menemukan kepingan terakhir dari dirinya hanya untuk berbangga diri di hadapan seorang pengemis lain.
Ketiga, berani-beraninya merasa jatuh cinta
Pada hari yang sama, usai terbebas dari pengemis dia bertemu dua orang wanita yang mana salah satu dari mereka menarik perhatiannya ketika melewati mereka. Tampaknya dia telah menyenggol lengannya dan membuat wanita itu malu. Dia merasa wanita itu malu karena sesuatu dalam dirinya. Mungkinkah dia merasa tampan? Dia kemudian membuntuti wanita itu, bahkan hingga ke depan rumahnya. Dari tempatnya berdiri, bersandar pada tiang lampu, dia melihat jendela terbuka di suatu kamar di atas sana dan sebentuk wajah menengok ke bawah kepadanya. ‘Aku merasa sesuatu tergenggam dalam diriku, suatu getaran lembut meresapi seluruh jasadku…’ ‘Cara berbalik pelan dari jendela, dan ungkapan bahu itu selagi berputar pergi, semuanya adalah isyarat bagiku.’ Saya membayangkan, orang ini kelewat percaya diri atau setidaknya gila karena telah lama berkubang dalam kemiskinan. Tetapi karena sebelumnya Hamsun telah menunjukan betapa berteguh hatinya dia pada kegembiraan, maka bisa jadi kejadian ini adalah sebuah semangat hidup yang meluap-luap sampai-sampai seorang wanita baik-baik terpikat padanya.
Keempat, merasa menjadi kelinci percobaan Tuhan
Ini fakta yang menyebalkan tentangnya. Dengan semua kemiskinan, kesulitan dan kelaparan yang dia terima, si Aku ini menyangka Tuhan masih mengenalnya dan sedang menjamahnya. Di sebuah bangku taman, dia begitu duduk berbicara kepada Tuhan, tentang kesusahannya. ‘Lalu aku menengadah ke langit nyaris menangis karena rasa ingin melawan, dan kukatakan semua padaNya, terus terang, tenang, dalam batinku’. Saya tidak paham kenapa kemarahannya pada Tuhan hanya begitu-begitu saja, padahal kehidupannya pedih betul. Seharusnya, dia merasa Tuhan telah melupakannya di suatu sudut kota.
Kelima, seorang pelacur memakinya ikan kering!
Terakhir, perlakuannya yang kurang ajar pada seorang nenek penjual kue
Suatu waktu dia pernah berurusan dengan seorang nenek penjual kue. Jika anda pernah membaca buku ini tentu tidak melewatkan ironinya. Bahwa si pria ini pernah menyerah pada kelaparannya, dimana dia mengambil kue-kue dari si nenek tanpa membayar dan berdalih bahwa uang yang pernah dia serahkan kepada si nenek di waktu lampau adalah semacam uang muka untuk keadaannya sekarang. Jadi dia berhak makan kue itu.
***
Seperti diketahui, tokoh Aku dalam kisah Lapar adalah tentang Hamsun itu sendiri. Dan karena kesadaran saya yang naif terhadap cara berpikir yang baru mengenai novel ini, saya akhirnya menaruh hormat pada Hamsun lebih dari sebelumnya. Caranya melewatkan penderitaan sungguh tiada tandingan.
Belum ada tanggapan.