Kaum ibu memang lebih identik dengan urusan pekerjaan melulu. Masih amat jarang perempuan menulis. Karena itulah, ketika 17 perempuan dari berbagai latar belakang menyumbangkan tulisannya, hal ini menjadi sesuatu yang istimewa. Melalui bentara budaya solo, kaum ibu dari latar belakang profesi ini menulis dan jadilah buku berjudul Tulisan Itu Ibu(2018). Ketika buku dibedah, kaum ibu yang semula malu-malu dan tak berani ngomong, akhirnya memberikan pengakuan satu persatu.
Ketika dulu Virginia Wolf menuliskan penilaiannya bahwa perempuan memang jarang sekali mengungkapkan perasaannya melalui tulisan, maka benar adanya. Para ibu-ibu memang semula jarang menulis. Namun, ketika mereka menulis, mereka memberikan pengakuan-pengakuan dan kesaksiannya. Begitu pula ibu-ibu yang menyusun antologi di buku ini.
Buku Tulisan Itu Ibu memang diniatkan sebagai perayaan kecil hari ibu. Hari ibu tak dirayakan dengan seremonial apalagi demonstrasi. Para ibu di solo lebih memilih merayakan hari ibu dengan tulisan. Melalui tulisan mereka memberikan cerita, menyuguhkan kisah, dan kesaksian. Ada yang mengungkapkan pengalaman pertamanya menjadi ibu, ada yang merasakan perubahan yang beraneka rupa saat menjadi ibu, ada pula yang menulis puisi tentang ibu.
Ibu-ibu memiliki kekhasan masing-masing saat ia menulis. Mereka seperti bertutur, menyuguhkan cerita untuk anak mereka. Sehingga ketika mereka menulis, ia seperti mendongeng dengan lepas dan bebas. Kita bisa mendapati pada cerita Anggi Lendho Pasha saat memberi pengakuan tentang mendidik anak pertamanya. Memberi contoh yang baik terhadap anak dalam segala hal adalah keinginan semua orang tua. Ada yang mengatakan bahwa Seorang anak adalah peniru yang hebat.Hal ini kumanfaatkan sebaik mungkin (h.14).
Ada pula cerita dari Astuti Parengkuh yang harus menjelaskan kepada anaknya saat harus menerima kenyataan bahwa ia lahir di keluarga yang retak. Pernah suatu sore yang sendu, Wulang berbincang serius kepadaku. Kata temanku, aku ini korban broken home. Benar tidak, Ma? tanya dia. Aku tidak menyangka, dia akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Tiba-tiba saja aku memiliki akal untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kamu korban anak perceraian, tetapi hatimu tidak harus broken kan? tanyaku. Lalu dia menggeleng (h.29).
Pembaca juga bisa mendapati pengakuan menarik dan penting. Pengakuan ini menyangkut perihal kebiasaan ibu-ibu dalam mendidik anaknya di masa sekarang. Kita mendapati pengakuan dari Dwi Windarti yang menulis kalimat berikut : Lahirnya bayi perempuan membuat kami banyak belajar tentang bagaimana pola asuh yang cocok bagi keluarga kami, khususnya bagi tumbuh kembang anak. Selain belajar mengenai pengetahuan mengasuh anak dari orang-orang di sekitar, kami juga banyak belajar dari buku-buku panduan dan internet. (h.97). Ini membuktikan rata-rata perempuan belajar menjadi ibu justru setelah mereka menjadi ibu melalui teknologi dan buku panduan. Tidak banyak perempuan yang belajar membaca lebih banyak untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana menjadi ibu.
Membaca catatan para ibu di buku ini membuat para pembaca mahfum bahwa para ibu sering belajar lebih banyak saat mereka menjalani kehidupan sebagai ibu. Kita bisa menyimak pengakuan dari Aryani Kusumastuti Sebagai seorang ibu, pastilah aku pun tak sempurna. Gak selamanya aku itu ramah sama anak-anak. Kadang galak dan judesku pun keluar. Capek bekerja, melihat rumah acak adut atau berantakan (h.154). Dari pengakuan Aryani kita memahami bahwa ibu kadang masih belum bisa sepenuhnya menahan emosionalitasnya. Dan kadang emosionalitas ini dipengaruhi oleh bagaimana orang tua mereka mendidiknya.
Endah Laras seorang pesinden nasional juga ikut memberi sumbangsih tulisan di buku ini meski agak kerepotan saat harus mereka dan menuliskan kembali ucapannya. Endah menuliskan bekal atau pesan untuk anaknya yang bisa kita kutip disini Laku sing bechik nut dhawuhing Gusti/ tindak tanduk bisa a sing prasaja ( berbuat baik taat pada Tuhan/ bersikaplah secara sederhana/ wajar).
Membaca pengakuan para ibu ini membuat kita tercenung dan terus mengenang ibu lewat kata dan doa. Ibu pula yang turut serta mengajarkan kita kata-kata. Ibu pada akhirnya bisa dilukiskan oleh penggalan puisi yang ditulis oleh Sruti Respati : Setiap mendengar ibu/ ada segalanya tentang surga dan dunia.
Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh di SMK Citra Medika Sukoharjo
Belum ada tanggapan.