I-N-D-O-N-E-S-I-A. Kalau sekedar mengeja huruf, tentu tidak akan terlalu rumit. Akan tetapi, ketika kata “Indonesia” ini menjadi bukan sekedar bunyi, melainkan suatu konsep tentang komunitas baru di kawasan Asia sebelah tenggara, tentu saja mengeja Indonesia bukan pekerjaan yang mudah. Mengeja Indonesia hingga jelas setiap unsur-unsur pembangunannya akan melibatkan banyak usaha untuk mengungkap unsur-unsur pembentuk sejarah, budaya, dan identitas komunitas yang baru berdiri resmi tahun 1945 ini, begitulah pengantar buku ini yang ditulis oleh penulis.
Pada bagian awal pembahasan histori diawali penulis mulai dari masuk dan berkembangnya Islam di indonesia. Penulis mengajak kita sebagai pembaca untuk mengeja Islam dan perkembangannya di Indonesia melalui pendekatan baru, yaitu pendekatan maritim. Pertanyaannya, struktur dan konjungtur semacam apa yang membuat sangat dimungkinkan terjadi proses pembaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18?
Struktur seperti yang diinginkan Braudel (berlainan dengan struktur dalam strukturalisme C. Levis Strauss) berkaitan dengan faktor geografis dan ekologis Laut Jawa. Mengapa Laut Jawa? Berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (ed.2004), dapat ditemukan hal-hal menarik. Pertama, dalam kesimpulan Azra sumber pembaharuan Islam di Indonesia berasal dari Timur Tengah. Saat itu, telah terjadi koneksi intelektual antara kepulauan Nusantara dan Hijaz. (hal.61)
Kenyataan ini memperlihatkan adanya satu hubungan konjungtural yang membentuk satu sistem yang mewadahi peristiwa berbagai sejarah dalam hal ini pembaharuan pemikiran Islam dengan segala dinamikanya.
Berlanjut kepada bagian kedua, pembahasan diperdalam dengan plot pesantren sebagai warisan islam khas nusantara. Seorang Martin Van Buinessen (Antropolog pengamat Islam Indonesia) menyebut pesantren sebagai great tradition (tradisi besar) dalam sejarah panjang perjalanan budaya Indonesia . Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai mengandung makna keaslian Indonesia (indeginous). Meskipun tentang asal usul pesantren masih banyak polemik, apakah hanya kelanjutan dasi sistem ashrama pada zaman Hindu yang diIslamisasi atau sebagai adaptasi dari sistem pendidikan Timur Tengah pada abad pertengahan. Martin Van Buinessen berhenti pada dugaan bahwa lembaga yang dikenal dengan nama pesantren, baru ada setelah abad ke-18.
Bagian ketiga, pembahasan mengerucut pada gerakan (dakwah) islam di indonesia. Terselip ungkapan “Dulu kita berpolitik untuk dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik” . kata-kata Mohammat Natsir yang sering disampaikan pada forum-forum DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) yang didirikannya pasca Masyumi dibubarkan. (hal.108)
Tokoh Umat adalah Tokoh Bangsa juga menjadi tambahan alur lanjutan pada bagian keempat. Pemaparan tokoh-tokoh bersejarah semperti Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat: Ijtihad Ulama Aceh untuk Pemimpin Perempuan, Manhaj Dzawi an-Nazar: Intelektualitas Ulama Nusantara di Kancah Dunia, Hasyim Asy’ari Sang Pembaharu Pesantren, Kepeloporan A.Hassan bagi Islam di Indonesia, serta M. Natsir dan Pemikirannya tentang Prinsip-prinsip ketatanegaraan Islam untuk Indonesia dan juga dilanjutkan dengan pembahasan konsep Pendidikan Integral ala M.Natsir memperkaya sajian sejarah dengan paparan gaya akademis yang referentif dan dapat dipertanggungjawabkan akurasi datanya.
Pada penutup pembahasan penulis tertata rapih pada bagian ke lima, pembahasan puncak mengenai islamisasi penulisan dan pengajaran sejarah di indonesia. Pada bagian ini, penulis memberi kritik membangun (konstruktif) kepada pengajaran sejarah di Negeri kita I-N-D-O-N-E-S-I-A, menurutnya sampai sekarang kita belum menemukan “pengajaran sejarah” dalam bentuk dan arah yang jelas. Pada setiap periode sejak Kemerdekaan 1945 sampai sekarang, pola dan isi pelajaran sejarah terus berubah. Dua tesis menegenai pengajaran dan buku teks sejarah di Indoneia yang ditulis Umasih (“Sejarah Pendidikan di Indonesia: Sebuah Telaah atas Perubahan Kurikulum Sejarah Indonesia Sekolah Menengah Atas Tahun 1975-1994”, Departemen Sejarah UI: 2001) dan Darmiasti (“Penuliisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menegah Atas 1964-1984: Sejarah Demi Kekuasaan”, Departemen Sejarah UI: 2002) menyimpulkan bahwa setiap terjadi perubahan politik, maka tujuan, pola, dan isi kurikulum pelajaran sejarah pun berubah. Begitulah sejarah selama ini.
Belum ada tanggapan.