8bca37d932444c9727fb5bec529716b8

Membaca Diri dalam Terang Eksistensialisme Kierkegaard

Eksistensialisme adalah sebuah aliran filsafat yang tidak hanya bergumul pada soal-soal filsafat yang abstrak, sistematis, logis dan menguras pikiran dan waktu untuk memahaminya. Lebih dari itu filsafat eksistensialisme memusatkan diri pada manusia, bergumul bersama dinamika kehidupan manusia dan serentak mengajak manusia sebagai subjek yang bebas untuk memberi makna atasnya. Kali ini saya akan membahas sedikit mengenai filsafat eksistensialisme Kierkegaard.

Buku yang ditulis oleh Thomas Hidya Tjaya ini memberikan gambaran seputar pemikiran eksistensialisme dari filsuf Denmark Soren Kierkegaard. Buku ini terdiri atas tujuh bab yang diawali dengan prolog dan ditutup dengan epilog dari penulis sendiri.  Pada bagian prolog, penulis mengulas secara umum isi pemikiran dari filsuf Soren Kierkegaard yang dimulai dari kesangsian terhadap rasionalitas objektif ala Hegel kepada ide mengenai kebenaran yang bersifat subjektif dalam kacamata eksistensialisme. Gambaran umum mengenai isi pemikiran eksistensialisme Kierkegaard ini tentunya sangat membantu mempermudah pembaca untuk menyelami alur pemikran Kiergergard pada uraian yang lebih mendetail pada bagian-bagian berikutnya dari buku ini.

buku-filsafat-eksistensialism-kierkegaardPada bab pertama, penulis lalu menyajikan tentang siapakah sosok Kierkegaard dengan seluruh dinamika pergumulan hidup dan karya-karya intelektualnya. Penulis sendiri sengaja mengulas secara umum karya-karya Kierkegaard dengan langsung melihat dari sisi historis drama pergulatan kehidupan yang dialami oleh sang filsuf. Hal ini dilakukan tentu dengan suatu tujuan agar pembaca dapat dengan lebih mudah memahami latar belakang historis yang melingkupi setiap hasil karya sang filsuf. Lebih dari itu, penyatuan ulasan mengenai sejumlah karya-karya dengan langsung mengintip pada derap kehidupan sang filsuf ini juga semakin membawa pembaca untuk betul-betul masuk dalam alur pemikiran eksistnsialisme yang tidak lain adalah berkaca pada pengalaman langsung manusia seperti kecemasan dan dan keputusasaan. Dengan demikian membaca pemikiran Kierkegaard sama halnya dengan membaca dinamika kehidupan diri dan serentak berkaca pada sosok sang filsuf.

Sebuah pemikiran filosofis selalu bergerak dalam alur dialektis. Sebuah cetusan pandangan filosofis tidak terlepas dari pengaruh isi pemikiran para filsuf atau pemikir terdahulunya. Dalam konteks ini, pemikiran Kierkegaard pun berarak dalam alur yang sama. Lahirnya program filsafat eksitensialisme dengan menitikberatkan pada pandangan akan filsafat yang harus merefleksikan realitas kehidupan manusia ini tidak terlepas dari tanggapan kritisnya terhadap bangunan pemikiran filsuf sebelumnya yaitu Hegel. Dalam hal ini penulis dengan jeli mengulasnya dalam bab kedua dari buku ini yang diawali dengan memberikan pemahaman umum tentang isi pemikiran Hegel yang menjadikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang absolut dan dapat menjelaskan segala-galanya. Pemahaman akan kritik filosofis dari Kierkegaard terhadap Hegel ini tentunya membantu pembaca dalam memahami orientasi Kierkegaard pada manusia sebagai subjek eksistensial dalam filsafatnya.

Pada bab ketiga, penulis mendiskusikan seputar beberapa pemikiran pokok dari Kierkegaard mengenai perjuangan menghidupi eksistensi manusia yang otentik. Menghidupi eksistensi yang otentik ini adalah bentuk perlawanan terhadap kehidupan dunia yang kerap diwarnai oleh kepalsuan yaitu kesenjangan antara penampilan luar dan penghayatan dalam dunia batin. Seperti biasa, penulis dalam hal ini langsung mengulasnya bersamaan dengan pengalaman pribadi dari sang filsuf dalam kaitan dengan hubungan percintaannya dengan seorang wanita bernama Regina. Sang filsuf yang dengan berani memutuskan hubungan pertunangannya dengan Regina sebagai wujud dari keinginan diri yang beralih dari kepalsuan yang ada kepada keotentikan diri. Bagi sang filsuf, bahtera rumah tangga tidak dapat dibangun jika masih ada sejumlah rahasia yang tetap disembunyikan kepada pasangan.

Dari perjuangan melawan kepalsuan dalam diri, penulis selanjutnya akan membawa pembaca sekalian untuk melihat secara lebih nyata tentang isi pemikiran Kierkegaard yang juga melawan kepalsuan dalam realitas dunia sosial. Dalam hal ini perjuangan menghidupi eksistensi ini juga diarahkan kepada kritik Kierkegaard terhadap publik. Manusia kerap kali hidup berdasarkan apa yang didikte dalam komunitas, mengalir bersama tuntutan arus kebenaran massa yang dianggap sudah lumrah dalam masyarakat. Dengan keberadaan semacam ini, subjek (manusia) kerap kali terjebak dalam drama kehidupan yang penuh kepalsuan dan lupa untuk menghidupi apa yang menjadi gerak batinnya. Bagi sang filsuf, publik bersifat abstrak dan menyembunyikan identitas otentuik.

Pada bab keempat dari buku ini, pembahasan secara lebih dalam diarahkan pada eksistensi itu sendiri.  Dalam bagian ini penulis mengulas secara ringkas dan padat pembagian wilayah eksistensi oleh Kierkegaard. Wilayah eksistensi itu sendiri terdiri atas empat yakni wilayah estetis, etis, dan religius. Keempat wilayah eksistensi ini serentak juga sebagai tahap-tahap jalan hidup manusia. Hal yang mau disampaikan oleh penulis dari ide Kierkegaard pada bagian ini adalah bahwa hidup manusia pada dasarnya bergerak secara bertahap melalui empat wilayah eksistensi ini. Dalam proses menemukan eksistensi yang otentik dengan secara bertahap berjalan dalam wilayah-wilayah eksistensi ini, manusia sebenarnya mengungkapkan diri sebagai sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi. Ketidaktahuan atau keengganan orang untuk mengakui kodratnya ini kerap mengantar manusia pada keputusasaan (despair).

Pada bab kelima penulis mengulas pandangan Kierkegaard mengenai kebenaran sebagai subjektivitas. Makna dan kepenuhan hidup yang penting dijumpai oleh seseorang terhadap apa yang diyakininya sebagai kebenaran dan bukan sebaliknya pengetahuan apakah kebenaran itu sungguh-sungguh benar (kebenaran objektif). Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah perlunya memeluk kebenaran secara pribadi dengan penuh hasrat dan komitmen. Hal ini terwujud dalam dunia religius yaitu relasi dengan Yang Ilahi. Penghayatan agama yang hanya setengah-setengah tanpa didasari dengan gairah demi kemunafikan belaka adalah model hidup religius yang tidak otentik serentak mengungkapkan penghayatan eksistensi yang tidak otentik.

Pemikiran Kierkegaard tidak hanya berhenti untuk masa dan konteksnya. Lebih dari itu ide-ide dasar tentanng eksistensialisme ini juga berpengaruh kepada para filsuf lain sesudahnya. Pada bab keenam dari buku ini, penulis memaparkan secara garis besar ide sejumlah filsuf eksistensialis dan postmodern yang juga mendapat inspirasi dari Kierkegaard. Mungkin cara pandang mereka sedikit berbeda tetapi roh eksistensialismenya tetap sama. Mereka itu seperti Heidegger, Jaspers, Sartre dan beberapa tokoh postmodern lainnya.

Pada bagian epilog penulis kembali menegaskan ide eksitensialism Kierkegaard, sekaligus mengajak pembaca untuk terjun dalam dimensi pengalaman hidup konkretnya. Ada beberapa hal konkret-praktiks yang langsung dicontohkan oleh penulis. Semua ulasan ini sengaja diutarakan demi membawa pembaca sekalian untuk membaca diri serentak mengarahkan diri menuju pada panggilan diri yang otentik.

Membaca pemikiran Kierkegaard dalam terang pemikiran eksistensialisme ini memang cukup penting untuk pembaca sekalian. Ide-ide eksistensialisme yang diulas oleh Kierkegaard dalam beberapa karyanya juga disampaikan secara ringkas dan mendalam oleh penulis dalam sebuah buku. Selain itu cara penyajiannya pun begitu sederhana, jauh dari penggunaan bahasa yang merumitkan seperti ulasan filsafat pada umumnya.  Lebih dari itu, membaca eksistensialime yang telah diulas ini juga membawa pembaca untuk kembali kepada diri, memeriksa diri dan tentunya menjadi sebuah pegangan bagi diri dalam menapaki derap kehidupan ini menuju diri yang otentik.

Dengan mendalami buku ini juga pembaca sekalian diajak untuk menyelami kehidupan dengan tidak hanya tunduk pada nasib. Realitas kehidupan yang disajikan dengan banyak pilihan membutuhkan ketegasan dari diri dalam mengambil keputusan atasnya. Dalam hal ini diperlukan nilai-nilai yang mesti menjadi tuntunan bagi diri. Nilai-nilai itu mestinya diyakini sebagai kebenaran yang bersifat subjektif yang mesti dipeluk secara erat. Oleh kesadaran semacam inilah orang sampai pada diri yang mempunyai komitmen dan gairah untuk terus mengembangkan diri. Hidup yang reflektif adalah jalan menuju penemuan kebenaran yang subjektif ini. Oleh kemampuan reflektif itulah manusia dapat memeluk kebenaran bagi dirinya dan serentak terus mengembangkan dirinya.

Di samping memiliki sejumlah kelebihan ini, tentunya buku yang ditulis oleh Thomas Hidya Tjaya ini juga masih memiliki kekurangan. Tentu saja ulasan yang begitu padat tentang ide-ide Kierkegaard ini juga memungkinkan tidak semua idenya dapat diselami secara lebih mendalam. Selain itu patut diketahui bahwa setiap pemikiran filosofis juga mengandung sisi kelebihan dan kelemahannya. Kelemahan dari sebuah ide itulah yang mengundang tangapan kritis dari setiap orang yang mendalaminya. Sikap kritis atas sebuah ide terutama ide filosofis ini penting sehingga sehingga memungkinkan orang tidak terjebak dalam sebuah konsep pemikiran tunggal yang bisa jadi bersifat dogmatis. Memang hal ini diutarakan oleh penulis pada bagian penutup dengan mengutarakan bahwa ide Kierkegaard adalah bukan sebuah pegangan tunggal bagi pemakanaan akan hidup. Namun dalam hal ini perlu adanya juga catatan kritis yang disampaikan secara implisit sehingga tetap memancing sikap kritis dan terbuka dari pembaca untuk terus berdialog dengan ide filosofis Kierkegard.

Baca juga Api Filsafat (Prometheus dan Karl Marx)

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan