Sesak rasanya dada ketika saya merampungkan karangan Masthuriyah Sa’dan ini. Bukan apa-apa, ia berhasil membuat saya tercengang kedua kalinya, setelah buku sebelumnya yang berjudul Santri Waria (Yogyakarta: Diva Press, 2020) telah khatam saya baca.
Sungguh, penulis begitu lihai mengaduk-aduk emosi tatkala menyodorkan kisah tentang teman-teman waria. Sebutlah Gabby, waria muda yang berasal dari keluarga broken home. Ia dinyatakan positif HIV pada usia 18 tahun.
Selama tinggal di selter KEBAYA, berulang kali Gabby masuk rumah sakit. Kadangkala ia kontrol, kadang pula rawat inap. Apalagi Gabby juga menderita gagal ginjal. Ia kerap sakit-sakitan. Namun, takdir telah menulis garisnya sendiri. Gabby wafat di usia 33 tahun pada tanggal 26 Desember 2020.
Pihak KEBAYA mencoba menawarkan kepada keluarga, apakah jenazah Gabby akan dibawa ke kampung halaman atau tidak. Pihak keluarga menolak dengan alasan tidak adanya biaya ambulans dari Yogyakarta ke Bogor.
Bahkan, ketika orang tuanya datang setelah Gabby meninggal, mereka juga menolak membayar biaya perlengkapan pemakaman dan peti, musabab tidak memiliki uang. Oleh karena itu, biaya pemakaman ditanggung KEBAYA menggunakan uang yayasan, sementara biaya perawatan ditanggung BPJS.
Yayasan KEBAYA (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) adalah rumah aman bagi ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Di dalamnya, solidaritas benar-benar diwujudkan atas nama kemanusiaan. Sebagaimana kita sadari, selama ini, waria kerap didiskriminasi. Mereka kerap dihina, dicaci dan seakan-akan tidak memiliki tempat di lingkungan.
Mereka kerap disudutkan atas nama agama dan sosial. Barang tentu kata ‘aman’ di yayasan ODHA ini mengundang persepsi berbeda dalam benak manusia. Mengingat, selama ini masyarakat memiliki definisi sendiri terhadap waria, pekerja seks, apalagi statusnya sebagai ODHA.
Mereka-mereka yang entah waria, pekerja seks atau yang mengidap ODHA kerap dipandang sebatas selangkangan, bukan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Mereka kerap dipandang menjijikkan dan tak sedikit yang menjahanamkan. Padahal mereka sebetulnya manusia yang memiliki naluri kemanusiaan layaknya manusia yang lain.
Wance, misalnya. Ia tinggal di Bone, Sulawesi Selatan dan bekerja sebagai petugas kesehatan di rumah sakit. Di sana, ia menjalin relasi seksual dengan beberapa lelaki. Selang beberapa tahun kemudian, Wance mengalami gatal-gatal nan bernanah di sekujur tubuh. Berat badannya pun merosot drastis.
Ketika itu, Wance meyakinkan diri jika ia baik-baik saja, dan tidak kena penyakit. Akan tetapi, salah satu saudara Wance membujuknya untuk tes darah. Semula Wance bergeming. Ia yakin tidak sakit. Namun, saudaranya itu terus membujuknya. Wance pun luluh. Ia berkenan untuk tes darah. Hasilnya, Wance dinyatakan positif HIV. Hasil ini dirahasiakan dari keluarga besar, termasuk dari orang tuanya yang memiliki jabatan terpandang.
Hanya saja, saat mengambil obat, petugas tidak memberi tahu anjuran pemakaian. Wance meminum obat tanpa resep. Ia mengalami kejang-kejang hingga koma. Saat dirawat inilah, teman-teman yang menjenguk Wance akhirnya mengetahui kalau Wance berstatus sebagai ODHA. Berita ini pun tersebar hingga terdengar keluarga besar.
Sepulang dari rumah sakit, kakak kandung Wance menuduh status HIV disebar sendiri oleh Wance kepada teman-temannya, sehingga membuat nama keluarga tercemar. Ia ditampar berulang kali hingga hidungnya berdarah. (Hal. 64)
Wance yang merasa tidak dirangkul oleh keluarga akhirnya memutuskan pergi. Ia tiba di selter KEBAYA dalam kondisi lemas sebab obat ARV telah habis selama perjalanan. Ia pun dibawa ke rumah sakit untuk cek kesehatan.
Selama di KEBAYA, Wance mengalami perubahan drastis. Selain disupport sesama teman ODHA, ia juga didampingi psikolog. Ia juga rutin diingatkan sesama ODHA akan jadwal minum obat yang tak boleh telat. Di sana, Wance merasa KEBAYA menjadi rumah aman sehingga ia merasa menjadi ODHA bukanlah akhir dari segalanya.
Tentu KEBAYA bukan sekadar ODHA saja. Ada Novi, seorang volunteer yang memiliki jiwa kemanusiaan tinggi. Ia kerap menemani pasien ODHA yang sakit. Bahkan pada akhir 2020, ia tidak bisa libur sebab banyak waria lansia yang sakit parah di rumah sakit.
Jiwa besarnya selalu tergugah kala orang-orang menelfonnya untuk dimintai tolong. Jika si pasien masih bisa berjalan, ia mengantar menggunakan sepeda motor. Sebaliknya, jika parah, ia antar dengan mobil pribadi tanpa meminta biaya transportasi.
“Hidup manusia hanya sementara. Kalau kita tidak bermanfaat untuk orang lain, apa gunanya? Sisa hidup ini saya gunakan untuk bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan, karena mereka tidak memiliki keluarga dan tidak ada yang menolong.” (Hal. 37).
Saya betul-betul merasa tertampar akan apa-apa yang tersaji dalam buku ini. Masthuriyah berhasil menyajikan kisah di mana di dalamnya kita bisa belajar tentang solidaritas, persahabatan dan kemanusiaan, tanpa memandang gender dan profesi yang dilakoni. Tentu, ia tak sekadar menulis kisah para ODHA atau yang terlibat di dalamnya.
Ia juga mencatat permasalahan regenerasi di KEBAYA. Selama ini, yayasan dipimpin oleh Vinolia, dan tengah kesulitan menemukan sosok yang betul-betul totalitas dan loyal dalam kemanusiaan. Selain itu, stigma buruk di masyarakat masih melekat. Waria, ODHA, dan pekerja seks masih dipandang hina dina.
Tak heran jika di dalam buku ini, Masthuriyah juga mencantumkan cerita dan foto-foto yang dilakukan oleh mereka. Seperti memasak di dapur umum di mana hasil masakannya dibagikan kepada keluarga pemulung, atau foto-foto mereka saat membagikan sembako. Ini adalah bukti jika mereka memiliki nilai kebaikan yang selama ini tak dipandang masyarakat. Alih-alih dihargai, justru mereka dicaci.
Pada detik ini, saya teringat akan kisah seorang pelacur yang masuk surga musabab memberi minum seekor anjing yang kehausan. Kisah tersebut mengandung dua subjek yang kontradiktif dalam pandangan masyarakat, yakni pelacur dan anjing.
Pelacur dipandang sebagai perempuan menjijikkan, sedangkan anjing dipandang sebagai binatang yang patut disakiti. Andai banyak orang merenungi kisah pelacur dan anjing di atas, saya yakin para ODHA, waria atau pekerja seks, tak akan dicaci dan dihina, sebab mereka juga manusia seperti kita yang tak luput dari dosa.
Sayangnya, masyarakat telah terbelenggu dalam pepatah “Karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga.” Padahal jika kita cepat-cepat membuang nila yang setitik, maka sisa susu masih bisa dikonsumsi. Berbeda jika kita membiarkan nila yang setitik berlama-lama dalam belanga, maka susu akan berubah warna.
Oleh karena itu, bila Anda ingin menyelami kemanusiaan pada diri mereka yang terpinggirkan. Ingin menyelami kemanusiaan yang selama ini jarang muncul ke publik, maka tak ada salahnya mengoleksi karya Masthuriyah Sa’dan ini. Sebab dengan memahami mereka, kita akan bercermin, jika kita yang bukan ODHA, bukan waria, dan bukan pekerja seks, bukanlah jaminan menjadi makhluk baik di depan Tuhan.
Wallahu’alam bishhowab
Belum ada tanggapan.