Pesan Terakhir Salira

Pagi ini kabut melingkupi pelataran rumah. Embun-embun juga masih tampak menggantung di dahan-dahan daun singkong.Terdengar ayam-ayam berkokok bersahutan satu sama lain, pun terdengar pula suara gemercik air dari parit samping rumah. Masih terlalu pagi, jam di sudut atas ponselku juga baru menunjukkan pukul 05.51.

Aku membuka jendela kamarku untuk sekadar menghirup udara pagi. Kebiasaan ini selalu kulakukan setiap pagi. Meski yang tersaji di hadapanku selalu sama setiap paginya, pohon jati berdaun lebat, tanaman kacang tanah melingkupi rumah kontrakan, pohon kelapa yang sudah berusia setengah abad, pun burung-burung kecil hinggap sebentar di tiang listrik lalu terbang kembali. Tapi setiap pagi aku selalu merindukannya, ingin mengulangnya esok, dan setiap hari selalu begitu.

Lama-kelamaan, kabut mulai menghilang dengan sendirinya. Mulailah tampak awan-awan putih menggantung di angkasa biru. Sementara matahari, masih malu-malu bersembunyi di balik awan dan sesekali menyelinap di antara rimbunnya daun jati.

Rutinitasku hampir sama setiap paginya, tidak terlampau jauh dari hari-hari sebelumnya. Biasanya jadwal kuliah akan dimulai pukul tujuh, tapi hari ini aku ada mata kuliah pukul delapan lebih empat puluh lima menit. Sekitar dua jam empat puluh lima menit aku memiliki waktu untuk melakukan aktivitas lainnya sebelum berkutat di depan monitor laptop hingga sore hari.

Sejak pandemi yang merebak di seluruh penjuru dunia—termasuk negeri ini—memaksa seluruh aktivitas seperti bekerja dan sekolah dilaksanakan dari rumah. Untuk itu, setahun belakangan ini proses belajar mengajar di kampusku juga dilaksanakan secara virtual.

Setelah memanjakan mata dengan suasana khas pedesaan, aku bergegas mandi pagi. Mandi pagi merupakan hal yang wajib kulakukan setiap harinya. Sekadar untuk merefleksikan otot-otot saat menerima dinginnya guyuran air yang berasal dari mata air gunung di desa ini.

Sepuluh menit berselang, aku berdandan ala kadarnya. Lalu membuka laptop yang masih bertengger di meja belajar, karena sedari tadi malam belum sempat kututup. Mata kuliah pertama akan dimulai sekitar dua jam lagi, itu artinya aku masih memiliki waktu untuk melanjutkan tulisanku semalam.

Aku memang kerap menuangkan gagasan di pikiranku ke dalam sebuah tulisan. Awalnya aku hanya gemar menulis buku harian. Tetapi lama-kelamaan ingin mengembangkan bakatku di dunia tulis-menulis. Untuk saat ini, aku sedang menggarap novel keduaku di sela-sela kesibukan kuliah.

Kubuka kembali draf paragraf demi paragraf yang semalam sudah kususun. Kini tibalah pada part yang aku tunggu-tunggu. Namun banyak kerumitan dengan berbagai pertimbangan yang harus kulalui. Sudah berpuluh-puluh part yang menyajikan penderitaan Salira—tokoh rekaan dalam novelku—akibat perbuatan biadab ayahnya. Sekarang sudah saatnya gadis mungil itu harus bangkit dari tekanan ayahnya.

Salira adalah korban perceraian orang tuanya. Usai mereka berpisah, Salira tinggal bersama ayahnya. Setahun dua tahun kehidupannya berjalan normal. Namun, saat bisnis ayahnya bangkrut, Salira menjadi sasaran kemarahannya. Lebih-lebih sang ayah pernah menawarkan putrinya sendiri kepada rekan bisnisnya demi membayar utang-utangnya. Hingga pada suatu titik di mana Salira muak dengan semua itu. Ia ingin bebas, ingin hidup tanpa bayang-bayang ayahnya yang terus menekan batinnya.

Salira selalu menjadikan dunia luar sebagai sumber kebahagiaannya. Sebab, rumah bukan lagi sumber cinta dan kebahagiaan, melainkan tempat di mana sumber air mata berasal.

Kurang lebih seperti itu gambaran novel keduaku ini. Kini saatnya untuk mengubah hidup Salira agar bisa lepas dari tekanan ayahnya.

Ketika pagi hari, ide-ide segar berlompatan dalam pikiran. Sebaiknya segera untuk dituangkan dalam tulisan, sebelum ide-ide tersebut mencari tuannya untuk diadopsi. Jariku menari lincah di atas keyboard laptop.

Salira gegas berjingkat agar langkahnya tidak terdengar oleh papanya yang tengah tertidur pulas. Masih terlalu dini, azan Subuh pun belum menggema di masjid-masjid. Tidak ada barang berarti yang dibawa oleh Salira, kecuali foto mamanya serta pakaian yang ia kenakan. Bahkan ponselnya sendiri pun ia tinggalkan di rumah papanya.

Kuhentikan sejenak untuk membaca ulang. Sementara di luar mendung menyelimuti pagi, sepertinya akan segera turun hujan, padahal tadi kulihat matahari sudah bertengger. Huh, lagi-lagi hujan.

Kutahu hujan merupakan anugerah dari Sang Pencipta. Di mana katanya hujan membawa keberkahan, juga merupakan waktu mustajab untuk melangitkan doa-doa. Para penyair atau pujangga juga begitu menyukai hujan, mereka kerap memuisikannya.

Bagi mereka yang tengah merasakan rindu yang amat mendalam, atau memiliki kenangan bersama hujan, ada dua pilihan di sini. Pertama, ada yang sangat menikmati datangnya hujan, meresapi tiap tetes airnya, dan hanyut dalam kenangan yang pernah dilaluinya dengan orang yang tersayang bersama hujan. Kedua, ada yang sangat membenci hujan, seakan-akan hujan telah memutar memori masa lalunya yang begitu menyakitkan. Dan aku, bisa dibilang adalah tipe yang kedua.

Aku memang memiliki kisah kelam di masa lalu bersama hujan. Tapi bukan karena masalah percintaan seperti generasi melankolis saat ini, bahkan lebih menyakitkan daripada hanya ditinggalkan oleh kekasihnya.

Bermula ketika Ibu memutuskan untuk pergi dari rumah Ayah, karena mengetahui Ayah selingkuh dengan sekretarisnya. Saat itu sedang hujan lebat sekali, Ibu pergi tanpa membawa apapun selain pakaian yang dikenakannya. Aku yang saat itu baru berusia tujuh tahun, belum mengerti dengan apa yang terjadi. Aku seperti melihat adegan sinetron di hadapanku. Semula, aku menganggap Ibu jahat karena telah meninggalkanku. Tetapi kemudian aku mengerti, justru Ayah yang jahat, telah mengkhianati kepercayaan Ibu.

Lalu Ayah dengan teganya membiarkan Ibu pergi begitu saja, dan memilih wanita simpanannya. Perasaanku hancur! Lebih-lebih ketika Ayah memutuskan menikah dengan wanita sialan itu.

Sudah-sudah, aku tak ingin mengingatnya lagi. Mungkin nanti akan kuceritakan kembali.

Selain kisah kelam itu, kalau hujan turun, genteng kontrakanku pasti bocor, dan akan banjir di mana-mana. Maklum, kontrakanku hanya seharga lima juta per tahun, wajar jika tidak mendapatkan fasilitas yang layak.

Sedia payung sebelum hujan. Eh, bukan, tapi sedia baskom sebelum hujan. Lebih baik aku menyiapkannya dari sekarang, biar nanti kalau hujan, rumahku tidak becek.

Baiklah, setelah semuanya beres, sekarang saatnya melanjutkan tulisanku. Tetapi aku merasa ada yang kurang. Setelah kupikir-pikir, ternyata secangkir kopi hitam belum tersaji di hadapanku. Aku memang penikmat kopi hitam sejak masih SMA. Bagi kebanyakan orang, kopi hitam hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Tetapi walaupun bukan laki-laki, aku sangat menyukainya. Wanita sialan itu—istri baru Ayah—pernah melarangku untuk minum kopi, dengan alasan tidak baik bagi kesehatan. Tetapi nyatanya, sampai sekarang lambungku masih tetap bersahabat. Meskipun aku membenci wanita sialan itu—karena sudah mengambil ayahku dari Ibu—tapi sebenarnya dia adalah orang yang baik.

Satu sendok teh kopi dari lereng Merapi, satu sendok teh gula pasir, dan air panas dari termos beradu dalam cangkir. Aromanya menyeruak dalam hidung. Seolah menenangkan. Secangkir kopi hitam sudah berada di tanganku. Aku menyesap dengan hati-hati, karena memang airnya masih panas. Kejadian ketika aku masih SMA, lidahku pernah terbakar ketika menyesap kopi, tidak ingin kuulangi lagi. Bahkan—saat itu—sampai beberapa Minggu, lidahku seperti mati rasa gara-gara itu.

Sementara di luar sudah terdengar suara gemercik hujan mengenai genting. Huh, ternyata hujan turun juga. Aku kembali membuka ponselku untuk sekadar melihat jam. Maklum saja, di rumah kontrakanku ini tidak tersedia jam dinding. Masih sekitar tiga puluh menit perkuliahan akan dimulai. Aku bisa memanfaatkannya untuk meneruskan menulis beberapa paragraf dalam naskah novelku tadi yang sempat terjeda.

Tumbuh tanpa kasih sayang orang tua bukanlah hal yang mudah. Dipaksa untuk dewasa lebih cepat sama halnya dengan menyakiti diri sendiri.

Aku baik-baik saja, Pa. Percayalah, tubuh tabahku masih sanggup untuk menerima kehidupan tanpa kasih sayang Papa. Terima kasih, Pa.

Pesan terakhir yang ditulis Salira dalam buku hariannya, sebelum ia benar-benar meninggalkan papanya sendirian. Sebelumnya, istri barunya juga telah meninggalkannya satu tahun yang lalu saat perusahaan mereka mengalami kebangkrutan.

Aku begitu mendalami setiap inci dari perjalanan kehidupan Salira. Semua kubuat sedetail mungkin, agar pembaca bisa merasakan sepi, kosong, dan hampa yang dialami tokoh Salira selama sebelas tahun ini.

Semua kisah Salira dalam novel keduaku, adalah pengadopsian dari perjalanan kelam diriku di masa lalu, sebelum akhirnya memilih untuk tinggal sendiri di rumah kontrakan sederhana ini.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan