Surat yang Tak Diharapkan

Terhitung sejak hari di mana saat terakhir kali menatap lesung pipi, alis tebal, juga gigi putihmu yang berderet rapi serupa dengan gigi kelinci itu, sudah lima tahun lebih terlewatkan. Namun aku masih ingat betul bagaimana saat kau menyilakan rambutku ke belakang telinga, menggenggam tangan ini menyusuri pasir putih di Pantai Selatan, pun saat kau meminta untuk menemanimu minum kopi di cafe perempatan jalan dekat Fakultas Teknik.

Perbincangan kita mengalir begitu saja, di antara kepulan asap kopi yang baru saja disajikan di atas meja, juga gerimis yang datang tiba-tiba menyergap lalu mencumbui bumi. Kopiku robusta, kopimu arabika.

“Kamu suka kopi?” Tanyamu sambil memandangku yang sedang menyesap kopi.

“Suka.”

“Alasannya?” tanyamu lagi.

“Kopi tidak pernah bohong soal rasa, ia juga tidak pernah bohong tentang bagaimana jati dirinya. Sekali pun ia memiliki sisi manis, tapi yang ditampilkan pastilah rasa pahitnya. Tapi pahit nggak selalu sedih, juga hitam nggak selalu kotor.”

Aku juga masih ingat tatapan hangat dari kedua bola matamu yang teduh, pun seulas senyum yang penuh ketulusan. Seperti halnya kopi dan senja, aku selalu menyukai kedua bola matamu. Menatapnya lekat-lekat dan tenggelam berlama-lama di dalamnya. Senyummu pengobat segala penat, juga penenang segala gusar. Ingatan itu masih tersimpan rapi dari setiap inci perjalanan, perjuangan, dan kenangan yang pernah terjadi di antara kita.

“Aku akan melanjutkan pendidikan ke London, dan kita break dulu ya? Karena harus fokus dengan pendidikan dulu. Jaga diri baik-baik, jaga perasaan juga. Aku akan kembali untuk meminangmu.” Ucapmu usai upacara wisuda digelar.

Aku terkesiap mendengarnya, “Ke—kenapa harus London? Apakah tidak bisa di Indonesia saja? Lalu kenapa harus break? Kita masih bisa komunikasi ‘kan, meski hanya lewat pesan singkat maupun sambungan telepon?” Aku terus menghujammu dengan pertanyaan bertubi-tubi. Sungguh, aku tidak terima dengan keputusan itu.

“Aku diminta Papa untuk kuliah S-2 di sana, Sayang.” Balasmu lembut sambil mengacak-acak rambutku.

Wajahku berubah durja. Dapat dipastikan bibir ini tergulung serupa cabai masak. Aku merajuk. Lalu kau justru terus menggoda dengan melontarkan rayuan gombal.

Nggak usah cemberut gitu, jadi tambah sayang loh.” Senyummu menyeringai.

Apa kau tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya, ketika mendengar kabar akan kepergianmu? Hancur! Akulah yang paling patah, saat kau memutuskan untuk pisah. Tapi bibir ini tetap menyunggingkan senyum terbaik, agar diri terlihat baik-baik saja.

Dulu kita berdua sepasang yang saling menguatkan, sama-sama takut kehilangan, hingga akhirnya dipaksa berpisah oleh keadaan.

“Anak cantik, anak baik, kuliah yang pintar, ya.” Katamu ketika di bandara waktu itu.

Senyum beriring binar netraku mengiyakan, “Aku akan menunggumu.”

Satu kecupan manis mendarat di keningku. Hangat sekali. Hal terindah justru mematahkan.

Sesaat kemudian pesawat yang kau tumpangi melesat jauh. Mengantarkan menuju impian juga harapanmu. Sedangkan aku? Hanya bisa menanti sembari menjaga perasaan dan menahan rindu yang ada.

Setiap sore aku menunggumu di beranda, menyeduh kopi tanpa gula, juga bercengkerama dengan senja perihal kita. Meski tahu kau tak mungkin datang, tapi hati ini terus meratap harap.

Sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan menjalani hari-hari tanpa kehadiranmu. Bukannya tak bisa hidup tanpamu, buktinya aku masih bisa bernapas, menikmati tiap tegukan kopi, juga menatap senja yang memerah di ujung sana. Mau tidak mau hidupku harus tetap berjalan. Hanya saja ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa jemu, hingga kegundahan silih berganti untuk bertamu.

“Tapi dia berjanji akan datang, Pak.” Ucapku sendu untuk meyakinkan Bapak bahwa kau tak mungkin ingkar janji.

“Mau tunggu sampai kapan, hah? Nunggu sampai jadi perawan tua, atau nunggu sampai Bapak dan Ibu tidak ada? Dia itu cuma mempermainkan perasaanmu. Kamu harus sadar akan hal itu!”

Hati ini terus menjerit, Bapak terus memaksa untuk menerima lamaran dari laki-laki yang datang silih berganti. Tapi apa yang kulakukan? Justru tetap setia menantimu, karena masih yakin kau akan datang untuk membuktikan keseriusanmu.

Surat undangan itu masih tergeletak di atas meja kerja. Sedikit pun aku belum menyentuhnya sejak front office kantor mengantarkannya, lalu diletakkan di atas meja.

Huh! Dulu kau gemar mengacak-acak rambut, dan kini justru hati yang kau acak-acak. Menyapaku dengan sebuah surat undangan pernikahanmu. Kenangan yang sudah terkubur dalam-dalam, tiba-tiba mencuat kembali dalam selembar surat undangan itu.

Aku tidak berniat menyentuhnya, apalagi membukanya. Dari luar saja sudah terlihat jelas namamu tertulis di sana. Aih! Namun sayang, di samping namamu yang tertulis justru bukan namaku, seperti angan-angan kita dulu. Nama wanita itu terdengar asing. Siapa dia? Dia yang sudah membuatmu jatuh hati, hingga melupakanku begitu saja.

Apa kau lupa bahwa akulah yang membantumu berdiri, tapi justru orang lain yang kau ajak jalan-jalan. Tunggu, terdengar berlebihan, bukan? Tapi memang begitulah adanya. Aku yang selalu ada, mulai dari membantu penelitian skripsi, bahkan selalu kau timpakan tugas-tugasmu dengan alasan sibuk mengurus organisasi. Lalu kini setelah kau berada di puncak, langsung melupakannya begitu saja? Baiklah, aku mengerti. Tak ada yang bisa menolak hadirnya cinta, bukan?

Ingin memaki, tapi rasanya percuma. Menghujam dengan seribu sumpah serapah pun tiada gunanya. Manusia sepertimu terlalu picik menjadi penyebab tangisku tak kunjung mereda.

Tak ada salahnya kau memutuskan untuk menikah. Kutahu usiamu sudah hampir kepala tiga. Sudah saatnya untuk membangun biduk rumah tangga dengan wanita yang kau cintai. Meskipun akhirnya bukan aku yang kau pilih di pelaminan, setidaknya kopi kita pernah bersanding di satu meja berbagi perasaan.

Sampul biru, bunga teratai berwarna perak melingkupi lipatan surat, dan di bawahnya tertulis namaku. Tetapi hanya sebatas orang yang diundang, bukan yang mengundang. Sampul plastiknya juga masih menempel rapi. Pertanda belum ada yang membukanya.

Melihat surat undangan itu, jadi teringat kembali warna kesukaanmu.

“Biru itu menandakan keceriaan, kebahagiaan, ketulusan, juga kasih sayang.” Katamu saat aku menanyakan mengapa seluruh aksesoris yang kau pakai didominasi oleh warna biru. Mulai dari tas punggung, jam tangan, jaket, sepatu semua berwarna biru. Huh! Ternyata itu alasannya.

***

Malam ini terasa sangat hening. Awan pekat menggantung mengintari cakrawala hampa. Dersik angin juga begitu terasa menelusup hingga ke pori-pori. Beku. Tapi sedikit pun masih enggan untuk beranjak. Apalagi secangkir kopi itu sama sekali belum kusesap. Berharap bisa meredam kekalutan hati yang tak kunjung lerah. Semoga saja ia juga rela, menjadi pendengar setia ketika hati yang terluka bercerita.

Malam kelam selalu membawaku pada cerita usang yang tak kunjung menghilang. Selembar kertas—yang sama sekali tidak diharapkan—tadi siang itu berhasil mengacaukan ruang pikiran. Semacam sudah rela tapi masih menyisakan sesak. Kutahu, jika rela itu sudah tak ada kata tapi. Barangkali rela tapi belum sepenuhnya.

Kini hati kembali pada titik rapuh yang sulit untuk diterjemahkan. Luka yang kunikmati tanpa berbagi, juga kesedihan yang sedemikian rupa kututupi. Kopi yang kusesap ini aromanya kian memudar, pahitnya berupa perih yang kau beri, dan manisnya berupa janji yang kau ucap dini hari.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan