asa-persahabatan

Secercah Asa untuk Persahabatan

Aku bergeser ke samping barisan berkostum perawat, kemudian berjalan cepat ke arah deretan penonton berdesakan di kanan kiri jalan daerah Tambakboyo. Kuhampiri ibuku yang berdiri di barisan terdepan membawa kantong plastik hitam untuk diberikannya padaku. Tak kuhiraukan benda itu. Tanpa pikir panjang, kuserahkan tas berisi minuman yang membuat pundakku berdenyut nyeri. Aku kembali mengejar barisanku dengan kaki yang sudah tak berasa. Seakan tersadar, ah! Dompetku ada di tas! Kini hanya ada ponsel dengan pulsa tiga ribu dan uang lima ribu di saku jas lab ku. Entah ini malang atau sial.

****

Matahari pada tanggal tanggal 20 Agustus 2017 bersinar begitu cerah. Seakan mendukung terselenggaranya Karnaval Pembangunan se-Kecamatan Ambarawa yang akan kuikuti untuk memeriahkan HUT RI ke-72. Kulihat jam menunjukkan pukul 10.30. eh, sepuluh lebih  lima belas menit? Mati aku! Aku harus berkumpul di Masjid Yonkav Kavaleri pukul 11.00!

Kulangkahkan kakiku ke kamar abangku yang ganteng tapi pelit.

“BANG! Anterin dong, telat nih!” pintaku

“Ogah! Dasar manja! Angkutan banyak buat apa?” cibir abang

“Cepetan Bang! Nggak keburu nih! anterin dong… masjid deket Lapangan Jenderal Sudirman!” paksaku pada bang Zie

“Ih ngrepotin aja sih!”

***

Hasil dari pembakaran tidak sempurna berupa partikel padat yang dikenal dengan asap dan berisi butiran-butiran karbon, karbon monoksida, dan uap air, yang keluar dari knalpot kendaraan itu mengepul di udara. Bercampur dengan debu, membumbung tinggi bersama ozon menambah panasnya jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan dan pejalan kaki. Di tengah kesibukan jalan itu, aku melihat dia. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Namanya Syeila, Tapi, entah mengapa sudah tiga hari ini ia tidak berbicara padaku. Aku selalu bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah kulakukan sehingga ia tak sudi berbicara padaku? Sampai saat ini entah sudah berapa ratus SMS yang kukirimkan untuknya. Tak ada satu pun yang dibalas. Puluhan kali aku men-dial nomornya, tak ada satu pun yang ditanggapi. Malah terkadang langsung dimatikan.

Meskipun aku merasa kehilangan, tapi hidupku tidak hanya terpaku pada satu titik. Jika salah satu titik itu menghilang mungkin keseimbanganku akan goyah. Tapi aku akan berusaha untuk tetap berdiri. This is my life, and I have the rule of my self! Kualihkan pandanganku darinya saat tiba waktunya untuk kami berangkat ke Lapangan Jenderal Sudirman. Sebelum berangkat kami dibagikan kantong plastik hitam yang berisi air mineral dan makanan ringan menjadikan tasku cukup berat.

Akhirnya tiba waktu keberangkatan kami. Keluar dari lapangan kutahu bahwa akan ada banyak penonton berdesakan di sepanjang jalan yang menjadi rute karnaval. Banyak yang mengabadikan momen ini dengan telepon pintar mereka. Ah! Perjuangan telah dimulai!

***

Aku bergeser ke samping barisan berkostum perawat, kemudian berjalan cepat ke arah deretan penonton berdesakan di kanan kiri jalan daerah Tambakboyo. Kuhampiri ibuku yang berdiri di barisan terdepan membawa kantong plastik hitam untuk diberikannya padaku. Tak kuhiraukan benda itu. Tanpa pikir panjang kuserahkan tas berisi minuman yang membuat pundakku berdenyut nyeri. Aku kembali mengejar barisanku dengan kaki yang sudah tak berasa. “Za!” samar samar kudengar panggilan ibuku. Ah, sudahlah. Aku sudah tertinggal cukup jauh dari barisan. Seakan tersadar, ah! Dompetku ada di tas! Kini hanya ada ponsel dengan pulsa tiga ribu dan uang lima ribu di saku jas labku. Entah ini malang atau sial.

“Aw!” Aku terbangun dari lamunanku saat seseorang menjerit tepat di samping telingaku. “Maaf La, aku nggak liat.” Yang hanya dibalas tatapan membunuh dari Syeila. Aku merasa bersalah.  Karena keasyikan memikirkan nasib dompetku, tanpa sengaja aku menabrak Syeila. “Aihhhhh, dasar Ellza ceroboh!”

“Dari mana aja Za?” tanya Fera saat aku berhasil menyusul barisanku. “Nitipin tas ke mamah.” Balasku dengan tersengal. “Oh, kirain tas kamu nyangkut di mana.” Gurau Fera. “Ya nggak lah, gila kali gue!” Parah memang si Fera, itu tas  kesayanganku.

Tidak terasa kita sudah setengah perjalanan. Kini kami berjalan di pusat kota Ambarawa yaitu area Pasar Projo. Tidak ada lagi air mineral yang dibagikan secara gratis oleh warga desa. Yang ada hanya penjual es teh yang berkeliling menawarkan dagangannya. ‘Glek’ aku menelan ludahku dengan susah payah. Saat-saat begini es teh terasa begitu menggoda. Aku teringat bahwa kini di kantongku hanya ada uang lima ribu rupiah. Aku terpaksa menahan keinginanku, apalagi saat Syeila dan Daiva terlihat begitu menikmati esnya. ‘Ayah! Bunda! Elza mau esss!’ batinku nelangsa.

Panggung pertunjukan sudah di depan mata. Pak guru berkali-kali mengingatkan kami untuk menyanyikan lagu Hari Merdeka, Bangun Pemudi-pemuda, dan Maju Tak Gentar dengan semangat. Di samping panggung pertunjukan itu kulihat Aldi dan kawan-kawan, mereka kakak kelasku. Sedangkan karnaval kali ini memang hanya diwakili oleh kelas XI.  “Damai banget kamu kak!” cibirku. “Haha.. iya dong. NIHHHH”, kak Aldi melemparkan satu botol Fanta dingin padaku.

“Wuihh… baik juga kamu kak. Thank ya! aku doa’in deh, Semoga rencananya berjalan lancar.” Akhirnya!  Kak Aldi ini sebenernya gebetan Syeila.

***

Masjid Yonkav sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa anak yang menunggu jemputan. Aku dan Syeila di antaranya. Adzan magrib sudah berkumandang 15 menit lalu. Telepon dan SMS-ku untuk Bang Zi, tidak ada satupun yang ditanggapi. Telapak kakiku sedari tadi berdenyut nyeri. Karena terlalu lelah membuatku malas untuk menelepon Bang Zi sekali lagi.  Aku duduk dan meluruskan kakiku tepat di sebelah Syela. “La, kita perlu bicara!”

“Nggak ada yang pengen aku omongin sama kamu!” jawab Syeila ketus. Ah, aku sedikit lega dia menanggapi ucapanku karena sejak kemarin dia tak menghiraukanku. Benar-benar menganggapku tak ada!

“Kita nggak bisa kayak gini La! Kalau aku ada salah sama kamu, aku minta maaf! Kamu boleh marah sama aku, tapi jangan diemin aku kayak gini!” tidak ada tanggapan dari Syeila. “La!, please??”

“Kamu jahat tau nggak  Za?” balas Syeilla  dengan menatap mataku. Matanya berkaca-kaca.

“Maksudmu apa La?” tanyaku setengah tak mengerti.

“Kamu tahu kan kalau dari pertama ketemu aku suka banget sama Aldi! Lalu apa Za? You betray me!” kata Syeila lirih.

What? Nggak La! Aku nggak pernah mengkhianati kamu!”

“Lalu ini apa?!” Syeila menunjukkan sebuah foto padaku. Fotoku dan Aldi di sebuah kafe.

“Kamu salah paham La! Aku emang ketemu Aldi di kafe itu, tapi kita nggak ngapa-ngapain kok. Maaf aku bohong waktu itu, aku nggak mau kamu nyusul kalau aku bilang aku sama Aldi.” Jelasku pada Syeila.

“Tega lo!” balas Syeila dengan tatapan terluka.

“Aku nglakuin itu karena dia sedang buat rencana nembak kamu La! Dia pengen momen itu istimewa, jadi dia minta aku untuk bantuin! Aku nggak pernah berniat nusuk kamu dari belakang sama sekali!” jelasku frustrasi. Uppps aku keceplosan! “la anggap kamu nggak pernah denger ini! Please, please, ya? Aku bisa dibunuh Aldi kalau tahu aku ngasih tahu kamu! La!!”

“Jadi Aldi mau nembak aku? Serius? Dia juga sama aku?ELZAAAA” Syeila memelukku erat.

“Papa mu udah jemput La.”

“Aku duluan Za, salam buat Bang Zi” kata Syeila sambil berlari menghampiri papanya.

Aku benar-benar lega setelah melihat Bang Zi memasuki gerbang masjid. Karena terlalu bahagia, tanpa mengatakan apa-apa aku langsung naik dan memeluk punggung Bang Zi. “Apaan sih peluk-peluk! Lepas!”

Persahabatan itu seperti tali, jika tali itu  putus bisa disambung kembali. Tali itu akan tampak kokoh dan kuat, tapi tidak akan tampak sama seperti dulu. Aku berharap, persahabatanku dan Syeila seperti itu. Setelah kejadian ini kami akan lebih peraya satu dan yang lain, agar persahabatan kami menjadi lebih kokoh.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan