Surat Pertama
Kepala saya penuh, Tuan, saya ingin menuliskan kekosongan. Namun saya tidak banyak mengerti apakah pikiran berwujud sebagai benda cair, padat, atau gas? Lantaran hampir setiap saya mandi, pikiran saya hilang. Setiap saya bersandar dan duduk di kursi reyot, pikiran saya hilang. Setiap saya merokok dan mendapati liuk uap kopi mengudara, pikiran saya hilang. Pikiran, terbuat dari apa kau ini?
Banyak yang saya tidak mengerti tentang pikiran. Kamu mempercayainya kan kalau saya punya pikiran? Tapi saya tak pernah memahaminya. Satu hal yang paling lekat dengan diri manusia, tapi sekaligus paling jauh untuk ditemui. Pikiran saya terkadang lupa jalan pulang, menjadikan kepala sungguhan sepi. Terkadang juga pikiran saya sangat riuh, membuat kepala mendadak seperti pasar minggu di pagi hari.
Surat Kedua
Kemarin malam saya bertemu dengan sekawanan kijang di dekat rumah. Merasa aneh, tentu saja. Rumah yang saya anggap memiliki darah kota barang sedikit, kok, bisa-bisanya ada empat kijang, tepatnya di pelataran rumah saat saya hendak masuk ke dalam. Kijang itu bertanya dengan lugas, “Sudah menemukan pikiranmu?” Sontak saya terperanjat. Hampir tersungkur ke belakang. Tapi keanehan itu berangsur menjadi biasa saja setelah saya banyak bicara dengan mereka. Ya, kami bercakap-cakap. Berdiskusi tentang ke mana perginya pikiran saya.
Kijang-kijang itu akhirnya membantu saya untuk mencari pikiran saya yang hilang. Konon, kijang termasuk sebagian hewan yang mampu mendeteksi suhu tubuh manusia. Sedangkan suhu tubuh manusia, konon juga, dipengaruhi oleh pikirannya sendiri. Jadi ketika manusia merasa sedih, marah, senang, cemas, atau takut, seluruhnya dapat ditangkap secara simbol oleh kijang. Simbol-simbol itu tentunya diterjemahkan ke dalam bahasa mereka sendiri.
Tapi, kan, pikiran saya tengah hilang, bagaimana mereka tahu?
Surat Ketiga
Berhari-hari saya keluar bersama kijang-kijang yang saya temui tempo lalu. Mereka mengajak saya masuk hutan, mall, pasar pinggiran kota, dan padang rumput. Kami belum juga menemukan yang sedang dicari. Namun baiknya, tanda-tanda pikiran itu ada di mana, sudah mulai terbaca.
Sudah, sementara itu dulu kabarnya. Saya hendak blasakan lagi.
Surat Keempat
Selamat malam, kamu. Maafkan saya yang memberi kabar larut malam begini. Di sini sudah hampir dini hari, jam tiga pagi. Di sana jam berapa, ya?
Tapi yang terpenting adalah ini: saat saya memasuki hutan kemarin, kijang-kijang itu mulai melambat ketika bertemu pohon besar. Benar-benar besar. Diameternya mungkin mencapai sebesar kala lima manusia merentangkan tangannya bersamaan dan membentuk lingkaran. Pohon tua di jantung hutan rimba.
Mereka mengendus mengelilingi pohon itu, sedang saya masih menunggu informasi sambil menggigit jari. Saya mulai cemas kalau-kalau pikiran saya tidak ada di sana.
Hampir setengah jam mereka mengitari pohon itu, dan kijang Beta wakil pemimpin mengabarkan kalau nihil. Pikiran saya tak ada di sana. Namun justru keping ingatan yang mereka temukan. Tepatnya di dekat akar yang mencuat ke permukaan. Ingatan itu berkisah tentang sepasang manusia yang menghajar anak kecil di sebuah rumah. Anak kecil itu sudah merengek kesakitan, tapi pukulan masih mendarat di tengkuknya. Tumit seorang lelaki paruh baya menghantam perutnya. Hati saya teriris menonton ingatan itu. Saya mengatakan kepada Beta agar ia saja yang membawanya. Menyimpannya. Hingga keping-keping lainnya ditemukan.
Surat Kelima
Saya sedang berada di pusat perbelanjaan modern. Di sebuah mall tengah kota. Tentu saja saya masih bersama kijang-kijang itu. Tapi saya tidak pernah menyana kalau mereka mampu menjelma kurcaci. “Agar menjadi sewajarnya,” kata Beta. Barangkali saya akan diusir ketika pak satpam tahu bahwa saya masuk ke mall membawa kijang. Benar kan?
Surat Keenam
Aduh, maafkan saya, surat yang kemarin belum selesai ditulis tapi sudah keburu saya masukkan ke amplop dengan lem perekat. Saya merasa sedang sibuk hari lalu, di sebuah mall yang begitu banyak orang-orangnya. Saya khawatir surat itu justru akan rusak atau hilang kalau tidak segera saya masukkan ke dalam amplop. Awalnya pikir saya untuk sementara saja, tapi ternyata penutup lem perekatnya mengelupas dan akhirnya menempel kuat.
Kijang-kijang yang menjelma menjadi kurcaci itu juga kewalahan membawa keping ingatan yang melimpah di sana. Sangat banyak. Mereka menemukannya di dalam toko baju, toko elektronik, toko perhiasan, bahkan di toko furniture pun ada.
Keping-keping ingatan itu saya tonton satu persatu dengan tekun, dan begini kesimpulan saya: seseorang di ingatan tersebut mondar-mandir di toko-toko yang saya sebutkan di atas lantas menandai sebuah barang yang ingin ia bawa pulang. Tapi sampai kini, tak ada satu pun yang ia boyong ke rumah. Kasihan.
Surat Ketujuh
Saat saya berada di tengah pasar tradisional pinggiran kota, saya bertemu dengan keramaian lagi. Namun yang ini berbeda dengan keramaian sebelumnya. Keramaian ini bukan hanya disebabkan begitu banyak orang-orang di sana, tapi juga kata-kata. Riuh sekali saya dengar. Beberapa orang ada yang bergosip, sebagian lainnya melakukan proses tawar menawar.
Kijang-kijang itu masih dalam bentuk kurcaci, menelusup ke dalam pasar. Berusaha menemukan pikiran saya yang hilang. Lagi-lagi masih nihil. Bukan pikiran saya yang mereka temukan, tapi keping ingatan lain yang tersungkur di ujung pasar. Meringkuk kusam dan kumuh.
Ingatan itu saya tonton: seorang anak kecil dikejar-kejar massa yang membawa parang dan celurit. Tersengal-sengal napasnya, basah keringat dahinya, juga sorot mata yang dirundung ketakutan. Harap-harap cemas anak kecil itu bisa lolos dari kejaran.
Surat Kedelapan
Padang rumput. Pemberhentian terakhir dari petualangan saya mencari pikiran. Di mana engkau raib? Saya kelelahan mencarimu. Kijang-kijang itu juga tampak lesu. Mereka belum makan sejak pertemuan kali pertama dengan saya. “Sepenuh sabar hingga selesai menemanimu, baru kami akan makan sepuasnya,” tegas Alpha pemimpin gerombolan
Di padang rumput kijang-kijang itu berubah menjadi hewan selayaknya. Bentuk alaminya ketika mereka dilahirkan. Tak lagi menjadi kurcaci, karena tak ada yang perlu disembunyikan di tempat sunyi. Hanya ada hamparan rumput, hewan-hewan lain, dan saya.
Lekas mereka kembali mengendus untuk mendapatkan pikiran saya atau, paling tidak, tanda-tanda seperti yang mereka temukan sebelum-sebelumnya. Keping ingatan yang akan menuntun saya ke tempat di mana pikiran saya berada. Ya, tak lama kemudian mereka menemukan keping ingatan lagi. Tergeletak di tengah padang rumput dengan balutan lumut. Barangkali sudah terlalu lama keping itu ada di sana.
Saya menonton kisah seorang bocah dengan baju kusut dan compang-camping. Badannya lusuh seperti belum mandi satu pekan penuh. Ia merebahkan badannya di atas rumput, memandangi luas bentala yang bersih dari gumpalan-gumpalan awan. Tapi ada keganjilan yang saya temukan di sorot matanya, bahwa ia sebenarnya tidak sedang memandangi langit. Tatapannya kosong. Seperti tatapan seseorang yang kelelahan.
Surat Kesembilan
Waktu itu, sebelum mereka berpamitan untuk pulang, saya menangkap kekecewaan yang memancar dari dalam tubuh Alpha. Tak apa, kata saya, Kalian sudah cukup membantu sepanjang perjalanan ini. Menemukan keping-keping ingatan itu yang terpencar ke segala penjuru. Kalian sudah sangat baik dengan saya, sedangkan saya belum bisa berterima kasih dengan layak kepada kalian.
Saya balik kanan, mereka lantas pulang ke entah di mana habitatnya. Sesampainya di rumah baru saya sadari suatu kebodohan, mengapa saya tidak bertanya di mana mereka tinggal?
Pak Pos, saya capek. Saya ingin tidur sebentar.
Surat Kesepuluh
Bangun di pagi hari dengan penuh keresahan. Kepala saya terasa berpikir, tapi saya juga menyadari kalau pikiran saya tak ada di sana. Pikiran saya kan belum ditemukan. Dan di saat itu pula, saya memecahkan teka-teki kumpulan keping ingatan.
Segera saya kumpulkan keping-keping itu di lantai. Masih terburai. Saya mulai menyusunnya secara berurutan dari keping yang pertama kali saya temukan, hingga keping yang paling akhir saya dapatkan. Dari sana saya mendapatkan kisah yang lengkap: bahwa seseorang yang dipukuli sampai babak belur, seseorang yang menandai barang-barang di sebuah mall untuk dibawa pulang, seseorang yang tengah dikejar massa di sebuah pasar pinggiran kota, dan seseorang yang merebahkan diri di padang rumput dengan tatapan kelelahan, adalah orang yang sama.
Lantas keping-keping itu menyatu seperti tanpa celah. Mereka menjadi satu kesatuan yang utuh dan saya terperangah ketika dari sana muncul sebuah cahaya. Setelah cahaya itu meredup, yang ada di hadapan saya hanyalah sebuah kaca. Kaca cermin. Bukan lagi keping-keping ingatan yang berkisah tentang seseorang maupun suatu hal.
Surat Kesebelas
Sekarang saya paham. Ternyata ingatan saya pergi ke masa lalu dan berupaya merubah seluruh kejadian di sana. Kau tahu dari mana saya tahu? Tentu saja cermin itu. Cermin yang berada di hadapan saya dan memantulkan wajah saya. Keping ingatan itu seluruhnya adalah milik saya.
Saya paham, Pak Pos, bahwa keinginan terbesar saya adalah untuk merubah masa lalu agar kelak di masa sekarang, atau bahkan di masa depan, seorang diri yang saya inginkan bukanlah diri saya yang sekarang. Seseorang yang tak kunjung menikah lantaran terlalu takut dengan apa yang disebut keluarga. Ya, sekarang saya sepenuhnya paham.
Surat Terakhir
Dengan diterimanya surat ini, sudah genap selusin surat yang sudah engkau baca. Tapi tolong, cukup surat yang ini saja yang perlu engkau kirimkan ke seseorang. Seorang perempuan yang sudah lama saya cintai tapi tak kunjung ada keberanian untuk melamarnya. Tapi engkau tentu tahu, sekarang saya sudah berani. Sangat berani.
Saya lampirkan surat cinta saya di belakang lembaran ini, untuk dia. Terima kasih banyak, Pak Pos, karena sudah mau menyimak cerita saya yang agaknya abnormal dengan kijang-kijang itu.
Belum ada tanggapan.