Tersesat

Lin membuka mata, tetasan embun tepat mengenai ujung hidungnya. Tidak ada rasa lain yang ia rasakan selain pedih di sekujur tubuh. Lin semakin kehabisan tenaga, mendadak tubuhnya gemetar, penglihatannya kabur dan napasnya tersengal.

Sejauh pandangannya, hanya ada pepohonan dan semak belukar. Masih terlihat sepasang ular yang menjulurkan lidah melengkung di ranting pohon, sangat panjang dan besar. Lin memilih diam berpura-pura mati daripada berlari menghindar, toh dirinya sudah sekarat sekarang. Seperti kejadian semalam, ketika ia nekat berhambur dari kejaran lipan raksasa namun justru terperosok dan betisnya koyak. Ia hanya bisa meringis kesakitan, untung saja lipan raksasa itu tak menemukannya.

Entah sudah berapa hari ia terjebak di hutan hujan ini. Hanya gelap dan lembab yang merasuk di tubuhnya, pancaran matahari tak dapat menembus rindangnya pepohonan. Lin tidak menyangka jika pelariannya dari rumah justru membawanya ke pintu neraka. Ia kembali menghembuskan napas teringat wajah murka Ayahnya yang getol melarang menjelajah hutan meski dengan Mat sekalipun. Tetapi bukan berarti dengan larangan itu Lin membatalkan rencananya. Ia bahkan pergi tanpa pamit dan tetap melakukan perjalanan.

Saat itu mereka bertemu dengan Robert salah seorang guide yang akan memandu, menjaga dan bertanggung jawab atas keselamatan selama penjelajahan. Perjalanan dimulai dengan menelusuri sungai ke dalam hutan dengan perahu yang berisikan Lin, Mat dan Robert. Tidak ada yang mencurigakan karena Robert telah menunjukkan sertifikat profesionalnya, lagipula mereka telah membuat janji seminggu sebelumnya. Awalnya perjalanan itu mulus tanpa kendala dan sangat menyenangkan. Perahu itu berlayar semakin dalam memasuki hutan hingga arus sungai semakin deras menggoyangkan badan perahu yang menjadi tidak stabil.

Genggaman tangan Mat terhempas, ia terjatuh ke arus sungai yang deras. Lin terkejut dan segera mengulurkan sebuah tali yang tak kunjung terjangkau oleh tangan Mat. Mat terus berusaha bergulat melawan arus namun sia-sia, ia terbawa arus deras entah ke mana. Robert hanya meringis mendapati Mat kalang kabut berusaha meraih gagang tali. Perahu itu hilang kendali hingga menabrak batu dan terbalik, mereka akhirnya terhempas ke sungai. Lin sekuat tenaga melawan arus, meraih dahan pohon yang menjulur. Ia melihat Robert menyibakkan tangan meminta pertolongan. Lin masih saja heran, baru kali ini ia bertemu guide penjelajahan yang sangat tidak cakap dalam segala hal. Meski begitu ia segera memotong ranting pohon dan menjulurkan ke tubuh Robert. Untung saja Lin berhasil menarik Robert sebelum tenggelam dan hanyut.

Sesaat setelah keduanya berhasil selamat dari maut, Lin meminta Robert untuk menunjukkan rute aliran sungai dan mencari Mat. Namun, Robert dengan tegas menolak, ia mayakinkan Lin jika Mat pasti sudah mati tercabik anaconda atau tenggelam di makan buaya, sehingga mereka harus segera keluar dari hutan sebelum malam tiba. Lin tercekat, ia sontak memberi pukulan ke wajah Robert. Emosinya semakin tidak terkendali ketika Robert tetap kekeh tidak akan bertanggungjawab atas hilangnya Mat dan memilih kembali melewati rute yang telah diperkirakan. Lin termenung, menggelengkan kepala sembari membenarkan firasat Ayahnya yang melarang menjelajah hutan. Apalagi kini ia semakin curiga jika Robert adalah guide gadungan.

Lin akhirnya membiarkan Robert pergi dengan bekas luka di bibir. Lin lantas kembali ke pinggir sungai mengamati kelokan sungai dan menelusuri arus deras sungai yang menghanyutkan sahabatnya itu. Kedua bola mata itu sigap menangkap bayangan buaya yang mengintainya sedari tadi. Lepas menelusuri sungai, perjuangan Lin masih berlanjut. Ia terseok-seok di dalam hutan. Melewati bukit terjal dan mengawasi kehadiran binatang buas yang datang menyerang secara tiba-tiba.

Siang berganti malam, Lin memekik di pangkuan rembulan berharap Mat dapat mendengarnya. Kali ini ia harus lebih berhati-hati, dalam gelap mencekam penglihatannya berpinar. Ia kembali mengeluarkan telepon satelit dari saku meski telah berulang kali gagal menghidupkannya. Beberapa peralatan yang tersisa di ransel juga rusak akibat terendam air sungai. Untungnya, ia masih memiliki persediaan makan dan minum untuk beberapa hari. Lin sadar jika ia harus berhemat dan segera menemukan Mat.

Tiga malam sudah ia terlunta-lunta dalam kesendirian, persediaan makannya telah habis. Dalam rasa penyesalan yang teramat dalam, Lin memutuskan untuk berhenti mencari Mat. Ia meneteskan air mata melepas kepergian sahib seperjuangan. Lin berusaha mengingat rute yang harus ia lewati untuk dapat keluar dari hutan. Ia berjalan menuju arah timur hingga malam menyapa namun tak kunjung mendapat petunjuk ujung dari hutan, rasanya hanya kembali berputar di tempat yang sama.  

Rasa cemas mulai menyelimuti batin, tubuhnya juga sangat lelah. Ketika ia duduk bersandar batang pohon untuk beristirahan, ia melihat ransel Robert yang tergeletak dan seluruh isinya berserakan. Lin segera mendekat mengais sisa-sisa makanan yang masih layak, mengambil pisau lipat dan memeriksa telepon satelit. Sialnya telepon itu sudah tidak berfungsi.

“Robert!” Tidak ada jawaban, sepertinya Robert juga tersesat dan telah menjadi santapan hewan jalang.

***

Gigitan semut membuyarkan lamunan Lin. Kini ia tidak khawatir serangga masuk dan menggigit tubuhnya, seperti mati rasa. Terbesit di otaknya untuk menusukkan sebilah pisau ke perutnya. Tiap kali Lin akan mencoba melakukannya, secercah harapan datang menyelimuti tubuh yang lunglai itu. Seekor kura-kura lewat tepat di depannya, tak berpikir panjang Lin segera menangkap, memotong tubuh kura-kura menjadi bagian kecil lalu memakannya mentah. Dalam keadaan tertekan hanya hal menjijikkan itu yang dapat ia lakukan demi bertahan hidup.

Dengan senyum tipis, Lin memohon keajaiban dari Tuhan. Meski harus mati, setidaknya mayatnya dapat disemayamkan dengan baik. Setiap hari ia berbicara pada ranting-ranting. Tak jarang pula ia berbicara pada tanah yang dipijak untuk menitip kepada orangtuanya. Ia sangat merasa kesepian.

Lin segera beranjak, menggendong ransel yang penuh dengan lumpur. Bahkan kini sekujur tubuhnya terselimuti tanah. Ia berjalan menyusuri arus sungai, dari sini ia dapat melihat biru langit dan pancaran sinar matahari yang sedikit menenangkan. Setidaknya ia masih bisa melihat langit yang sama seperti yang orang lain lihat. Namun suasana seketika berubah mencekam ketika malam datang, tiba-tiba ia melihat seseorang berjalan mendekat.  

“Mat.. “ Panggilnya lirih penuh harap.

Tubuh itu semakin mendekat, mendekap tubuh Lin yang semakin melemah. Lin tersenyum memandang seorang wanita yang cantik jelita, bulu matanya lentik dan rambutnya terurai panjang. Terlepas apakah ia hanya berhalusinasi atau bermimpi namun perasaannya sangat tenang. Lin menutup mata perlahan, malam ini ia tertidur dengan pulas.

Kwokk kwookk…….

Suara burung liar membangunkan Lin. Kedua matanya mengerjap-erjap mencari sosok wanita yang ternyata telah pergi tanpa pamit. Lin tersenyum kecut, kali ini hidupnya benar-benar di ujung tanduk. Ia tidak dapat menggerakkan apapun dari tubuh. Kedua kaki lecet dan pandangannya sangat kabur. Ia teringat wanita semalam, entah itu malaikat atau arwah, ia benar-benar lupa. Yang dirasakannya hanyalah nyeri di seluruh tubuh. Lin jelas akan berakhir seperti ini. Mengeram kesakitan dalam perjalanan menjemput ajal yang kian mendekat. Tubuh yang menyatu dengan alam dalam perih yang semakin menusuk hingga relung hati. Ia kembali terisak, meski telah beberapa kali menjelajah dan bertahan hidup di liarnya dunia, namun perjalan kali ini yang paling berat. Ia tidak bisa membaca dan mengingat rute hingga terperosok semakin jauh ke dalam hutan.

Lin berusaha menyeret tubuhnya menuju bibir sungai dan berbaring. Ia melihat ke atas burung beterbangan dan berbisik untuk menyampaikan salam yang terakhir untuk orangtuaya. Dalam keputusasaan yang mendalam lagi-lagi Lin dikagetkan dengan suara seseorang yang memanggil-manggil namanya. Namun ia hanya bisa tersenyum tak berdaya. Mungkin telinganya juga memburuk. Ia terkesiap tatkala melihat Mat bergerak mendekat dengan perahu dan dua orang lainnya. Lin melambaikan tangan lemah, berusaha berteriak namun lidahnya kelu. Ia mencoba bangun namun sia-sia, ototnya melemah. Mat yang tidak melihat tanda-tanda kehadiran Lin memutuskan untuk kembali dengan wajah kecewa. Lin tersenyum, ia bersyukur meski kelak mayatnya tidak ditemukan, ia mengetahui jika sahabatnya itu selamat dan dalam kondisi yang sehat. Penglihatannya semakin menghitam ketika ia melihat perahu Mat berputar kembali menuju ke arahnya.

Baca Juga: Wanita Pemilin Kematian

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan