“Barangsiapa menaruh ingin, maka letakkan satu tangan berisi kebahagiaan sedang satu lagi berisi kekecewaan di sampingnya. Apabila keinginan itu tidak tercapai, setidaknya ada satu tangan menopang”
Aku tertawa mendapati paragraf pembuka yang kau tulis tangan itu. Struktur kalimatnya mengingatkan aku pada sabda Nabi atau setidak-tidaknya susunan tubuh Pasal 362 KUHP yang berbunyi, “barangsiapa mengambil seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara …….”
“Tidak boleh meniru?”
“Bukan tidak boleh,” kataku sembari menaruh kertas berisi karanganmu di atas meja. “Tiap penulis berhak menciptakan cerita termasuk mengarang tokoh yang penuh birahi.”
“Itu dirimu. Penulis yang karakter tokohnya selalu orgasme dini.”
Aku tertawa mendengar selorohmu. Kuakui, kau sahabat terbaikku. Tidak ada yang bisa menandingi kebaikanmu, termasuk mengkritik karyaku tanpa menjatuhkan harga diri. Kita berteman sejak SD hingga bangku kuliah. Selalu sekelas, dan tak pernah berpisah. Barangkali karena kita sama-sama suka membual, yang menjadikan kita sahabat yang selalu duduk bersama di kelas.
“Jadi ke Jogja?”
Kau tak menimpali pertanyaanku. Tapi dari sorot matamu yang berkaca-kaca, aku tahu kau pasti merantau ke sana. Di sini, ujarmu waktu itu, susah hidup sebagai penulis. Lingkungan tak menghargai literasi, juga akses sangat tidak mendukung.
Berat rasanya melepasmu ke tanah para raja itu. Bahkan pada hari di mana kau hendak berangkat, aku masih tak percaya. Seakan masih bualan kisah fiksi.
“Tak usah sedih,” katamu. “Ada Arham yang menemani.”
Aku tertawa sembari menitikkan air mata. Bisa-bisanya kau masih bercanda, padahal bus sudah tampak di depan mata. Ah, tentu aku tak bisa membandingkan Arham denganmu. Memang ia datang terlambat dalam lingkup pertemanan kita. Tetapi bagiku, baik kau dan Arham, keduanya sama-sama utama.
***
Kini, tujuh tahun sudah dari hari perpisahan itu. Pamflet-pamflet berisi seminarmu di kampus almamater berseliweran di media sosial. Rupanya, Jogja benar-benar menempa bakatmu. Sepuluh novel yang kau tulis, seluruhnya laris. Bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan lainnya. Dari media sosial yang aku ikuti, baru-baru kemarin kau datang dari Belanda. Tiga bulan residensi di sana, kau menghasilkan novel yang cetak ulang pada hari ketiga.
“Yakin mau ke sana?”
Arham memandangku cemas. Aku tahu, sejak kau ke Jogja, komunikasi kita tersendat. Pada mulanya kau rutin berkabar. Bahkan, saat aku kirim undangan pernikahan, kau berjanji akan pulang. Tapi nyatanya kau tak datang. Maafkan aku, katamu di telepon. Aku mesti menemui redaktur penerbit yang akan mengenalkan aku pada penerjemah. Kalau aku tidak datang, novelku tidak bisa dipasarkan ke luar negeri. Padahal ini kesempatan yang tidak semua penulis negeri ini peroleh.
Aku berusaha memaklumi meskipun aku tak bisa menyembunyikan raut kecewa. Dan sejak itu, kita jarang berkabar. Kau kian sibuk menekuni menulis, sedangkan aku sibuk mengurus tetek-bengek rumah tangga.
***
Kampus almamater kita kian megah. Dulunya, pohon beringin besar nan rindang berjejer di sepanjang jalan menuju rektorat. Kini, pohon-pohon itu hanya tersisa satu di sisi sebelah kanan. Selebihnya bangunan tinggi menjulang di mana-mana
Bahkan ruang auditorium—tempat kita dulu wisuda, dan kini kau jadi pembicara—tak kalah megah. Dua belas pilar besar dan kokoh mengitari bangunan. Tempat duduknya pun tak ubahnya stadion sepak bola. Berjenjang dari paling bawah ke atas.
Aku yang memperoleh tiket belakangan sebab penjualan diutamakan untuk adik-adik mahasiswa, hanya bisa memandangmu dari kejauhan. Duduk di tribun atas hanya mampu memicingkan mata kuat-kuat. Yang tampak hanyalah sosok perempuan berambut sebahu sedang memegang microfon. Tetapi aku bahagia mendengar suaramu. Aku bahagia mendengarmu bercerita tentang proses kreatif menulis yang sesungguhnya dimulai dari kota ini.
Hanya saja, cerita-cerita yang meluncur darimu terkesan sangat singkat. Atau aku yang merasa kurang sebab kita terbiasa berbincang lama, sedangkan tujuh tahun lamanya kita tak bercengkrama. Acara seminar usai. Para mahasiswa menyerbumu meminta foto dan tanda tangan. Aku berdiri dari kejauhan, memandangmu penuh kagum. Tak kusangka, waktu begitu singkat, dan kini kau telah meraih apa yang dulu kita impikan.
Barangkali karena situasi agak runyam, sebab panitia tak berhasil mengatasi antrean yang memanjang hingga menimbulkan keributan, acara foto dan bersua ditiadakan. Menggunakan tongkat komando, beberapa petugas berbadan tegap menyibak lautan manusia. Kau cepat-cepat melangkah menuju mobil yang tersedia di luar, dan sesekali mengangguk pada mahasiswa di samping kiri dan kanan.
Aku berlari-lari hendak menemuimu. Tetapi mobil keburu melesat lewati pagar. Aku tak kehilangan akal. Pada salah seorang panitia aku bertanya, di hotel mana kau menginap. Panitia tak menjawab, malah memintaku pulang. Aku bersikukuh bertanya, lagi-lagi ia tak menjawab. Sontak aku merogoh saku. Satu-satunya uang yang kubawa seratus ribu. Aku salami panitia itu, dan bertanya sekali lagi. Kali ini, ia menjawab lengkap dengan nomor kamar.
Sembari mengendarai sepeda motor, di sepanjang jalan raya yang kian ramai kendaraan, aku senyum-senyum membayangkan pertemuanku denganmu sebentar lagi. Aku yakin kau bakal teriak-teriak menyambutku. Seperti dulu kau teriak-teriak sewaktu aku berlari-lari ke rumahmu. Mengabari kalau kita diterima kuliah lewat jalur beasiswa. Waktu itu hujan lebat. Tapi kau malah menarikku ke tengah halaman. Basah-basahan merayakan perjuangan.
Tapi ini sekadar khayalan. Setibanya di hotel, seorang petugas yang berdiri di depan kamarmu melarangku mengetok pintu. Penjaga keamanan itu berdalih kalau kau sedang istirahat, dan tak boleh diganggu. Aku memohon agar bisa bertemu. Petugas itu tak mau. Malah ia memintaku meninggalkan koridor. Sontak aku kesal.
“Saya sahabat lamanya. Apa salahnya bertemu?”
“Tidak ada yang salah dengan bertamu. Tapi saya mendapat tugas menjaga keamanan beliau, dan saya tidak mau kehilangan pekerjaan.”
“Tujuh tahun saya belum bertemu. Biarkan kami berjumpa meski di pintu.”
“Lima puluh tahun Anda tidak bersua, itu bukan urusan saya.”
Pada detik ini aku ingin menggampar petugas itu. Bisa-bisanya dia melarang dengan alasan keamanan. Padahal aku tak bawa racun. Tak bawa belati yang akan membunuhmu. Aku putuskan menunggumu di luar pintu. Sebab dari panitia yang aku temui di depan auditorium itu, petang ini kau ada agenda dengan kepala pemerintahan kota ini.
Hanya saja, tiga jam berdiri di sini, kau tak kunjung keluar. Sepertinya Arham benar. Aku yang terlampau muluk berharap bertemu. Sebelum pergi, aku sodorkan kertas lusuh pada petugas itu, dan memintanya menyerahkannya padamu.
***
Aku berusaha melupakan kejadian tadi siang. Aku rasa, jalan hidup kita memang berbeda. Kau telah sukses di karir penulis, sementara aku hanya istri wartawan koran lokal yang cetaknya selalu menurun tiap tahun. Ketika jemari berselancar di media sosial, tiba-tiba sebuah panggilan masuk. Nomor baru. Setelah kuangkat, suaramu terdengar bergetar dari kejauhan sana.
“Maafkan aku, Nai. Aku tidak tahu kalau kamu datang ke hotel. Aku ingin bertemu sebetulnya. Tapi malam ini aku mesti berangkat mengisi acara di Ibukota.”
Aku tergagap mendengar suaramu. Aku betul-betul tak bisa menyembunyikan rasa haru. Ternyata, kau masih mengingatku, sahabatku. Masih.
“Kertas itu…?”
“Petugas menyodorkannya padaku. Maafkan aku, Nai. Terima kasih telah menyimpan karangan itu…”
“Barangsiapa menaruh ingin, maka letakkan satu tangan berisi kebahagiaan sedang satu lagi berisi kekecewaan di sampingnya. Apabila keinginan itu tidak tercapai, setidaknya ada satu tangan menopang.”
Belum ada tanggapan.