upacara-bakar-rambut

Mengurai Duka dalam Buku Upacara Bakar Rambut

Puisi itu subjektif, begitulah kesimpulan saya. Dari sinilah kita bisa menentukan apa itu selera, warna, hingga bentuk. Puisi di era sekarang memang tak cocok dengan puisi pamflet sebagaimana Rendra di masa itu. Puisi sekarang lebih cocok dengan apa yang dikatakan oleh Afrizal Malna : “Abad yang lalu puisi masih mengenakan pakaian kegagahan untuk melawan, menjadi martir, membawa moral pencerahan, mengusung seorang aku menghadapi militerisme maupun ideologi yang fasis. Aku-internal dibuat berhadap-hadapan dengan aku-eksternal. Dan aku-internal itu jauh tersembunyi dalam selubung kepenyairan: seorang fiksi yang memastikan aku-esternal sebagai nyata dan ditelanjangi agar memang kelihatan nyata. Seorang aku itu kini kian mendekati realitasnya sendiri untuk merasakan berdiri, berjalan, tidur, untuk makan, bosan dan memenuhi kebutuhan seksualnya”.

Karena itulah puisi-puisi sekarang lebih mengandalkan aku-internal dalam idiom-idiomnya. Puisi-puisi dalam upacara bakar rambut (2013) yang ditulis Dian Hartati adalah puisi diri. Ia lebih merupakan puisi keseharian dengan dibingkai oleh perasaan-perasaan penyairnya.

Guru saya pernah berkata : “mustahil penyair menulis puisi cinta bila ia tak pernah merasakan jatuh cinta”. Begitupun dengan Dian Hartati, takkan mungkin menuliskan puisi duka dalam kumpulan puisi ini tanpa ia merasakan kesedihan atau duka yang dalam. Atau dugaan saya salah, bahwa ia menuliskan duka si-aku yang lain. Kita bisa memunguti duka ini dalam puisi yang ada dalam buku ini.

Pernikahanku baru berjalan dua tahun/tanpa kelahiran anak-anak/tanpa kemelut rumah tangga/tahukah engkau shah janan/ aku telah memperpanjang masa duka/ menguntai doa mengurai lara (Masa duka).

Puisi ini memang mengisahkan duka, perasaan seorang isteri, dan kekecewaan yang mendalam. Namun, emosionalitas dalam puisi bila dituliskan wajar justru menghilangkan emosionalitas itu sendiri. Dian tak mau menuliskan puisi ini dengan kiasan atau metafora yang ruwet. Pilihannya berbeda dengan puisi Ikan Yang Pusing: … banyak patung ikan muncul di lautan/ ombak kian mengganas/ ombak menyeret nyawa-nyawa/termasuk ikan/dan aku memilih menu yang lain.

Puisi ini lebih memainkan kiasan dan menunjukkan kesan “aku” keluar masuk dengan bebas dari aku-internal ke aku-eksternal. Dalam puisi yang lain, duka lara begitu ditulis terang-terangan, kita bisa menyimak dalam puisi berikut : aku dan kamu kini dipisahkan oleh waktu/dunia berbeda/kenangan menggulung/mereka tak pernah tahu kesedihan ini (Berjalan di Bawah Keranda).

Di puisi ini kita melihat kematian adalah dunia yang tak mau dan diharap oleh si-aku. Kita bisa menyimak penjelasan tentang kematian ini dalam puisi lain. Berangkatlah menuju keabadaian/ rel-rel dingin memagari/ aku mengiringi/ baik-baiklah dalam perjalanan panjang/ akan aku urai doa-doa /memenuhi penjuru langit (Kereta

Tak hanya itu, Dian Hartati juga berkisah bagaimana duka seorang ibu. Ia mengisahkan bagaimana ibu mengalami duka ketika kehadiran buah hatinya justru tak hadir. Sesekali aku akan pergi ke tempat lahirmu/ berziarah dan menaburkan bunga/ sementara ini, aku ingin menghabiskan kesedihan/menangis dan menangis/ inilah rasa sakit yang tidak bisa dirasakan siapapun/ tak ada yang bisa menukarnya/ dengan apapun (Aku Kehilangan Si Peracik Mimpi).

Kita menemukan puisi ini justru ketika judul ditulis, judul seperti menjadi penanda bahwa si-aku hadir dengan perasaan yang tak ditutup-tutupi. Kumpulan puisi ini seperti mengajak kita ke dalam duka yang mendalam tanpa harus meneteskan air mata meski penyair sudah mencoba membagi duka laranya. Kiasan judul kumpulan puisi ini Upacara Bakar Rambut seperti menjelaskan bahwa ia adalah upacara penghabisan, puncak kepusingan itu mesti di akhiri dengan bakar rambut, kesedihan itu mesti diakhiri dengan membakar rambut. Simaklah penutup dari upacara bakar rambut yang seolah menjelaskan bahwa jalan untuk keluar dari kesedihan itu tak kunjung membuka meski penyairnya justru membuka dengan kata pembuka yang bertolak belakang “tak ada pretensi apapun kecuali untuk bahagia, selamat berbahagia ”.

Aku membuka mata

melihat cahaya berkedipan

mencari pintu, jalan keluar yang tak juga terbuka

(Upacara Bakar Rambut)

*)Pengulas adalah Santri Bilik Literasi ,Penyuka Puisi

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan