Tak ada jawaban! Aku betul-betul muak kala perempuan tua berbadan kusut yang lemak dagingnya tiba-tiba menyusut itu tak menyahut. Berulang kali aku berteriak dari tepi ranjang, ia tak kunjung datang. Kurang ajar! Sikapnya amat kelewatan. Padahal sekali kutendang, kulitnya yang hampir terlepas dari cangkang itu bisa saja makin menggelepar.
“Mbah! Mbah! Mbaahh…!”
Aku merasa iblis-iblis kecil turun dari neraka lantas bertamu di ruang pengap yang terbuat dari dinding gedhek ini. Mereka tampak tertawa di langit-langit menyaksikan teriakanku tak digubris Simbah. Bahkan sesekali mereka saling bercakap, mengatakan pintu surga sedang ditutup lantaran ada iblis perempuan berhasil mencuri kabar langit, dan diturunkan pada anak manusia yang ditinggal mati ibunya. Dirikukah itu?
Anak-anak iblis ini tertawa. Kata salah seorang dari mereka, jika takdir itu ditujukan padaku, maka sebentar lagi iblis perempuan bersayap akan mendatangi kamar ini. Bukankah malaikat yang bersayap sedangkan iblis bertanduk api?
Lagi-lagi mereka tertawa. Suaranya begitu landai di gendang telinga. Kata mereka, aku disuruh mengurangi menonton sinetron tivi. Sebab, apa yang tersaji di serial tontonan itu tidak benar. Bukan malaikat saja yang bersayap. Sayap iblis jauh lebih lebar dan wangi.
Betulkah itu?
Anak iblis yang semula duduk di salah satu bubungan meloncat. Kami saling bersitatap sekian detik, sebelum akhirnya memintaku mengamati apa yang ia berbuat. Sejenak aku acuh tak acuh. Namun, ketika ia merenggangkan tangan, tetiba dari bawah lengannya mendadak muncul sayap-sayap berwarna putih seharum kasturi. Ketika aku sentuh, cahaya itu meleleh dan jatuh ke bumi. Ketika aku sentuh lagi, cahaya itu menjelma kunang-kunang beterbangan memenuhi ruangan.
Lihatlah! Ujar anak iblis bersayap itu. Aku mengangguk takjub. Baru kali ini aku membuktikan sendiri kalau perkataan Ustad Samhadi tidaklah benar. Kata guru ngaji itu, hanya malaikat yang bersayap, iblis tidak. Malaikat terbuat dari cahaya, sedangkan iblis terbentuk dari api neraka. Sungguh dusta ustad muda itu. Padahal aku betul-betul membuktikan, betapa sayap anak iblis ini tidaklah panas, malah cenderung sejuk mendamaikan.
Namun, ketakjubanku lenyap begitu saja. Kilat petir tetiba menyambar kamar. Padahal ini musim kemarau, dan mustahil ada hujan badai. Anak-anak iblis juga terdiam. Mulut-mulut mereka senyap. Mata-mata mereka merunduk kala sosok hitam seram tetiba melesat lantas berdiri di sudut ruangan. Tulang-tulang tubuhnya tampak menonjol. Dua payudaranya tak kalah menonjol. Rambut hitamnya tergerai. Dua tanduk menyala bak api tancap berdiri di atas kepala. Belum pernah aku melihat sosok mengerikan seperti ini sebelumnya. Tetapi, rasa gentarku sirna kala ia duduk di tepi ranjang.
Tangannya mengelus runcing rantai yang memborgol kedua lenganku. Tak lama kemudian kulit kami bersentuhan. Kulitnya begitu halus seperti baju yang terbuat dari kain sutera milik Pak Kades. Aku tersenyum kala ia menyentuh ubun-ubun. Ai, aku kira salah dengar. Ternyata ia berdendang. Seperti bayi yang dibuai dalam dekapan ibu, seperti itu pula ia bernyanyi. Mula-mula aku tak bisa memejamkan mata. Lama-lama, aku terlelap juga dalam dekapnya yang begitu hangat.
***
Aha! Kau mungkin lebih ingin menyebutku nenek peot daripada memanggilku perempuan tua bertabir kulit kisut. Tak apa. Seonggok daging yang bergelambir ini memang menyiksa, tapi ada yang lebih menyiksa yakni mendengar teriakan Aisyah, cucuku yang mulai disusupi iblis-iblis kecil. Buktinya, ia tak hanya menceracau sembarangan, tetapi kerap berteriak tak keruan. Aku yakin, iblis-iblis kecil berhasil memasuki rumah tuaku, dan mengencingi kepala Aisyah. Duh, Gusti. Dengan apa aku harus menyucikan kepala bocah ini?
Saban waktu, ia tak cuma kencing di atas ranjang, tapi kerap membaluti tubuhnya dengan kotorannya sendiri. Tentu aku mengelus dada ribuan kali. Mengapa usianya yang begitu dini harus menanggung takdir pesakitan semacam ini? Ah, andai hari sial itu tak terjadi. Aku yakin ia tak akan dihina teman-temannya yang menyorak riang-gembira menyebutnya Asma. Aisyah tak punya Mama.
Aku masih ingat, Rabu petang jelang Aisyah mengaji di langgar, aku yang baru pulang dari sungai menjerit tak keruan menemukan Rukmini meraung-raung di umpak teras rumah. Tangannya menuding langit lalu menunjuk bumi. Aku menenangkannya dan meminta masuk ke dalam, tapi ia bersikukuh mengapa Tuhan memberinya garis kehidupan begitu keji. Supar, suaminya, kabur dengan Asiani, tetangga sebelah yang kerjanya memoles muka tiap hari.
Murka aku mendengar ceritanya. Lekas-lekas aku menemui orang pintar di sudut kampung, meminta air berisi doa-doa untuk menenangkan Rukmini. Biar bagaimanapun juga, aku telah mencium gelagat Supar sebagai menantu binal. Dari awal pernikahan pun, aku tahu Supar terpaksa menikahi Rukmini.
Usai kejadian itu, Rukmini yang lebih banyak tercenung mendadak meminta izin pergi ke seberang. Tentu aku melarang. Hati ibu mana yang tega melihat anaknya bertarung nasib di tanah orang? Lagi-lagi aku kalah bersuara. Rukmini pergi meninggalkan Aisyah, dan ia mati sebelum menerima gaji pertama kali. Aku macam orang kesurupan kala Mahmud, tetangga dua rumah berlari-lari menghampiriku. Dengan gawainya yang terlihat mahal itu, ia tunjukkan muka Rukmini yang biru lebam tergeletak di atas lantai.
Tentu saja aku berteriak di sepanjang jalan menemui Pak Kades. Meminta tolong memulangkan Rukmini meski tubuhnya tak lagi bernyawa. Aku tak ingin memprotes bagaimana ia terbunuh. Aku tak ingin menuntut perihal kematiannya yang menurut berita, Rukmini mati dibunuh majikan lelakinya. Aku tak ingin. Tak ingin. Yang aku hendaki hanyalah kepulangannya ke rumah. Akan kumandikan ia sebagaimana jenazah pada umumnya.
Sayangnya, Pak Kades geleng-geleng kepala. Memulangkan jenazah butuh ratusan juta. Terang aku kembali berteriak macam orang gila. Jangankan ratusan juta, jual tanah yang aku tempati pun tak akan sampai harganya. Orang-orang berusaha menenangkan. Mereka memintaku mengikhlaskan Rukmini dimakamkan di Malaysia saja sebab orang naik haji, jenazahnya tak dipulangkan ke tanah air. Ai, awalnya aku ingin mengumpat. Lama-lama aku terima kenyataan. Meski setelah kejadian ini, Aisyah mendadak suka berkicau sendiri.
Mula-mula ia duduk menyendiri di kamar. Menangis tersedu-sedu di sana. Setelah kutanyakan penyebabnya, ia bercerita kalau Oni dan kawan-kawannya memanggilnya Asma. Aisyah tak punya Mama. Aku betul-betul geram. Aku temui Oni dan menegurnya. Tapi, anak itu benar-benar bebal. Malah ia berteriak dari luar rumah, lalu berlari menghilang setelah aku susah payah ke luar rumah membawa sapu. Seminggu dari kejadian itu, aku dapati perubahan pada diri Aisyah. Ia tak hanya sering menangis atau termenung. Ia malah berbicara sendiri dan akhirnya teriak-teriak. Tak apa kalau sekadar mengeraskan suara. Tapi Aisyah mengambil celurit di dapur dan ditodongkannya pada banyak orang.
Tentu aku meminta tetangga mengikat lengan dan kakinya di kamar daripada ia membunuh orang. Perih melihatnya tergeletak di atas ranjang. Selain rambutnya yang awut-awutan, ia juga berteriak memanggilnya ibunya di seberang. Sering aku menangis di sudut kamar, menyaksikannya memanggil Rukmini yang telah mati.
***
“Mbah! Mbah! Mbaaah…!”
Nenek tua itu masih tak datang. Rupanya ia bersikukuh dengan waktu hendak mempermainkan aku.
“Mbah! Mbah! Mbaaah…!”
Aku mendengar derap langkah kaki. Terdengar tegap dan cepat dan aku yakin itu bukan langkah Simbah. Makin lama, langkah itu makin cepat dan terdengar tidak beraturan ketika pintu rumah terbuka. Ternyata dugaanku benar. Beberapa lelaki datang ke kamar, melepas rantai yang mengikat kaki dan tangan. Aku kira tak akan dipasang lagi, nyatanya mereka mengirim tubuhku ke kandang anyar. Usai memastikan keadaan aman, mereka memasung kaki dan kedua tanganku dengan rantai. Sialnya lagi, aku dapati sosok tua di sudut kandang tertawa lebar.
“Simbah?”
***
Hidup ini sungguh menggelikan! Aisyah yang tak waras, malah aku ikut dipasung di dalam kandang. Padahal aku tak mengamuk di kantor desa, ketika aku berusaha menemui Kades yang berjanji mendatangkan dokter untuk merawat cucuku. Aku hanya marah-marah dengan memukulkan tongkat kayu. Itu saja. Tapi perangkat desa menyebutku gila. Mereka membuatkan kandang. Menyeretku kasar. Lalu mengikat kaki dengan rantai.
Sekarang, Kades dan dua perangkat desa lainnya berada di kandang. Kata mereka, waktunya kami membersihkan badan. Tentu aku gelagapan. Sejak kapan perangkat desa berubah wujud menjadi sosok malaikat baik hati? Apalagi, sang Kades membukakan baju Aisyah dan memandikannya. Aku terjengkang. Teriak-teriak tak keruan. Dua perangkat desa yang lain tetiba menyumbal mulutku dengan kain. Aku berusaha berteriak jangan dan jangan mendapati tangan Kades bermain-main di selangkangan Aisyah. Aku masih berteriak ketika para lelaki bejat di depanku ini tertawa saat memandikan Aisyah yang tengah telanjang tanpa sehelai pakaian. Aku kian berteriak macam orang kesetanan sebab aku tak mau Aisyah mengalami apa yang aku rasakan lima puluh tahun lalu. Ketika seorang lelaki tiba-tiba mendatangiku ke kamar lalu merobek kemaluan, alih-alih mendata orang miskin untuk menerima bantuan beras keluarga.
Belum ada tanggapan.