Paradigma islam itu merupakan langkah pertama dan strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem yang kaffah, modern, dan berkeadaban. Dengan demikian Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan bagi non-muslim. Selama umat memahami Islam hanya sebagai transendensi semata-mata dan hukum halal-haram, Islam tidak akan sanggup meyakinkan orang dan mampu ikut dalam memecahkan permasalahan bangsa dan manusia (hal ix).
Berangkat dari kegelisahan Kuntowijoyo terhadap gagasan “Islamisasi pengetahuan” yang dibawa oleh Naquib al-Attas menjelang tahun 1980an, ia mencoba menawarkan sebuah alternatif baru. Jika “Islamisasi pengetahuan” cenderung terjadi setelah melihat realitas, hal tersebut membuat islam bersifat reaktif, maka Kuntowijoyo menawarkan “pengilmuan Islam” sebagai sebuah gagasan yang membuat Islam lebih proaktif, yakni Islam sebagai paradigma dalam memandang realitas objektif.
Bukan lagi tentang bagaimana mengembalikan realitas kepada agama, kepada keimanan, atau lebih khusus lagi kepada Tauhid, tetapi soal bagaimana membingkai atau bahkan mencipta realitas dengan paradigma Islam. Dalam proses pengilmuan Islam tersebut bukan berarti Islam berlaku subjektif ketika menghasilkan paradigma Islam untuk menjadikan Islam sebagai ilmunya.
Menurut Kuntowijoyo, Islam harus credible bagi pemeluknya dan bagi non-muslim, lebih jauh lagi supaya mampu ikut memecahkan permasalahan bangsa dan manusia. Ini artinya, islam menjadi lebih inklusif, rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta.
Kuntowijoyo menjelaskan, bahwa “Pengilmuan Islam” adalah proses, “Paradigma Islam” adalah hasil, dan “Islam sebagai Ilmu” adalah proses serta hasil sekaligus, sebelum nantinya menuju islam transformatif dengan Ilmu Sosial Profetik.
“…..perlunya Islam sebagai teks (Al-Qur’an dan As sunnah) untuk dihadapkan kepada realitas, baik realitas sehari-hari maupun relitas ilmiah. Dengan kata lain, dari teks ke konteks….” (hal 1)
Sudah saatnya umat islam bergerak dari teks ke konteks atau teks ke konteks. Islamisasi pengetahuan cenderung mengkaitkan realitas objektif dikembalikan kepada Islam atau tegasnya dari konteks ke teks. Namun, pengilmuan Islam bergerak berlawanan. Islam sebagai teks (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dihadapkan dengan persoalan realitas.
Proses dari pengilmuan islam menuju paradigma islam pasti berhadapan dengan teks sejarah dalam Al-Qur’an dan sunnah. Hal tersebut tak bisa dilepaskan ketika memang kita akui Al-Qur’an sebagai dokumen sejarah yang saat diturunkan mengacu pada peristiwa aktual dalam konteks zamannya. “tetapi pesan utamanya sesungguhnya bersifat transendental, dalam arti melampaui zaman” (hal 18). Sudah seharusnya umat tidak lagi menjadikan hal tersebut suatu masalah dalam penerjemahannya ke kondisi kontemporer. Kiranya perlu dihilangkan bias-bias sejarah tersebut untuk mengacu pada pesan universal dan transendentalnya.
Islam sebagai agama “rahmatan lil ‘alamin” sudah selayaknya menjadi rahmat bagi seluruh manusia. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Islam harus bisa menjawab persoalan realitas objektif.
Islam Transformatif
“…..peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Seandainya Nabi adalah seorang mistikus atau sufi, kata Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya. Nabi kembali untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatau transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita profetik.” (hal 87)
Semua hal tersebut pada akhirnya bermuara pada satu hal, yaitu cita-cita profetik. Seperti Nabi pada saat itu yang memilih kembali ke bumi dari sidratul muntaha nya, begitu juga manusia di bumi yang menurut tiga pilar ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, mempunyai 3 tugas penting yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Transformasi dari salah satu ayat dalam QS Ali-Imran [3], ayat 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah. Tiga pilar inilah yang terkandung sebagai karakterisasi dari cita-cita profetik, gagasan transformatif menuju rekayasa tatanan sosio-masyarakat di masa depan.
Menegakkan kebaikan (amar ma’ruf) sebagai upaya humanisasi merupakan pilar pertama yang menjadi etos bagi umat dalam melasaksanakan tugasnya untuk memanusiakan manusia. Industrialisasi membuat kita teralienasi dalam masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Manusia seolah dibendakan oleh mesin-mesin politik, mesin-mesin pasar, dan teknologi.
Liberasi (pembebasan) menjadi pilar kedua yang terlandasi oleh perintah nahi munkar (mencegah kemungkaran) dalam upayanya mebebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, belenggu penindasan dan kesewenang-wenangan. Kapitalisme yang menyebabkan kesenjangan sosial, keangkuhan teknologi telah menjajah manusia, sudah saatnya manusia terbebas dari belenggu yang bahkan mereka bangun sendiri.
Tu’minuna billah adalah dimensi transendensi dalam pilar ketiga cita-cita profetik. Kuntowijoyo dengan beberapa kritiknya terhadap sekularisme barat yang cenderung antroposentris dan ia anggap gagal dalam peradaban, mencoba mengintegrasikan akal dan wahyu (atau ia sebut dengan teoantroposentris) sebagai antitesis. Humanisasi dan liberasi merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai transendensi yang berasal dari teks wahyu Al-Qur’an berdimensi vertikal. Sementara manusia merupakan objek dari misi pembebasan dan memanusiakan manusia, mengarah pada dimensi horizontal. Artinya, disini transendensi sebagai pelengkap dari sebuah misi supaya tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata lain, struktur transendental mengkarakterisasikan cita-cita profetik Kuntowijoyo.
Kuntowijoyo mencoba mengatakan bahwa sebenarnya islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Dalam artian tidak hanya sebagai sebuah dogma tertutup dan eksklusif, namun sebagai sebuah cita-cita transformatif, untuk kepentingan seluruh umat manusia dan alam semesta tanpa terkecuali.
Penutup
Membaca buku ini seolah membawa kita kepada alam pemikiran penulis tentang bagaimana Ia memahami Islam ketika dihadapkan dengan realitas kehidupan. Tidak hanya sekedar gagasan filosofis, namun lebih-lebih juga sebagai kritik terhadap peradaban modern. Revolusi ilmu pengetahuan yang dipimpin oleh rasionalitas manusia ternyata telah menjebak manusia itu sendiri kedalam kemajuan yang dibuatnya. Kebudayaan modern yang berteknologi tinggi telah menghasilkan mekanisasi, standarisasi, dan otomatisasi kerja-kerja manusia. Manusia cenderung menjadi elemen yang mati dihadapan teknologi dalam proses produksi. Nilai-nilai kemanusiaan telah terdegradasi dihadapan proses teknologi. Ia teralienasi dari realitas sosial-masyarakat. Peradaban modern telah menciptakan dehumanisasi.
Paradigma Islam diharapkan hadir untuk menjawab permasalahan kehidupan kebudayaan modern. Tugas paradigma islam adalah menjadi agen transformatif yang mengembalikan nilai kemanusiaan dan ketuhanan menuju perubahan yang membebaskan.
Buku yang cukup relevan sebagai kacamata dalam memandang realitas islam hari ini, membawa kepada pemahaman bahwa ternyata Islam dapat lebih inklusif, objektif, dan transformatif. Ditambah lagi dengan analogi-analogi yang diberikan oleh penulis yang kiranya untuk memperjelas pemahaman pembaca, membuat isi buku menjadi lebih renyah dan mendorong saya ingin segera menyelesaikannya.
Belum ada tanggapan.