gajah

Seseorang yang Berubah Menjadi Gajah

Seorang gadis kecil merajuk di kebun binatang, meminta ayahnya untuk membelikan balon udara berbentuk gajah. Balon itu, sejak ia memasuki pintu masuk kebun binatang, sudah melambai-lambai agar dibawa pulang. Tentu saja pulang ke rumah gadis kecil tersebut.Ada juga seorang gadis muda, mungkin bersama kekasihnya, bercanda gurau sepanjang lingkar kebun binatang.Mereka mengelilingi seluruh kebun binatang, namun bukan untuk melihat binatang, tapi saya rasa hanya ingin mendapatkan waktu berbincang yang dalam. Deep talk. Tapi sejauh itu, saya hanyalah menduga.

Mungkin sebelum saya berubah menjadi seekor gajah, saya dapat bertanya apakah gadis kecil yang merajuk untuk dibelikan balon udara itu memang menginginkan balon, atau apakah benar sepasang kekasih yang mengelilingi kebun binatang dengan canda gurau itu benar-benar menikmati pemandangan hewan? Sebagai seekor gajah, kini, saya tak dapat menanyakan hal demikian.

Saya harus mengakui, bahwa saya menyesal telah membuat kesia-siaan saat masih menjadi manusia. Kesalahan fatal yang harus dibayar lunas hingga saya menjadi seekor gajah yang dirantai satu kakinya, dengan panjang rantai maksimal sejauh ke sebuah wadah yang berisi makanan dan minuman. Kira-kira tak lebih dari dua puluh meter. Hewan dengan berat hampir empat ton hanya diberi ruang gerak kurang dari dua puluh meter persegi. Sungguh malang nasib saya.

Saat itu, pada suatu panik, dunia sedang digegerkan virus menular dengan penularan yang begitu cepat serta cara kerja yang menurunkan imunitas secara drastis. Jadi, setiap manusia yang terjangkit virus ini, sangat mungkin apabila saat sedang berkeliling di mall atau tempat rekreasi, tiba-tiba merasakan dadanya sesak, lantas pingsan. Petakanya, ketika seorang manusia terjangkit virus tersebut, sebagian kecilnya tak menunjukkan gejala fisiologis. Sehingga tak ada yang tahu kalau si Fulan rupanya terjangkit, sebab nyatanya ia masih saja keluyuran dan terlihat bugar.

Kepanikan dalam merespon keberadaan virus tersebut menjadi semakin akut ketika orang-orang dengan mudahnya mendapatkan berita yang menyatakan bahwa virus itu sudah mewabah ke seluruh Negara di dunia, tanpa kurang satu pun. Negara saya, tak kalahnya seperti negara-negara lain yang menyiapkan penanganan sekaligus pencegahan virus tersebut. Negara dengan populasi sekitar 300.000 jiwa yang bercampur baur dari yang miskin dan kaya, hingga yang cerdas dan sok pintar.

Ya, di Negara saya tak ada orang bodoh. Saya berani bersumpah. Yang ada justru kelompok-kelompok sok pintar dengan segala kata-kata tanpa landasan. Kalau kamu kelak diizinkan untuk menyambangi Negara saya, jangan heran kalau ada kaum pengangguran, maksudnya sekelompok manusia yang enggan bekerja untuk menyambung hidup, namun mampu membahas politik dengan diplomasi yang begitu meyakinkan. Padahal mengurus dirinya sendiri saja tidak becus.

Nah, dulu saat saya masih menjadi manusia, saya adalah bagian dari mereka yang sok pintar. Hinggalah saya dikutuk menjadi gajah oleh gajah tua di suatu kebun binatang. Saya pikir itu pantas dan, baru sepekan yang lalu, saya baru mampu menerima takdir yang demikian. Setelah dua puluh tahun lamanya, kalau saya tak salah ingat.

Saat dunia dirundung kepanikan, kecemasan juga tak kalah cepat menular dari satu manusia ke manusia lain, dari kelompok satu ke kelompok lain. Tapi tidak bagi saya seorang diri. Saya, saat itu, merasa menjadi manusia paling tangguh karena mengingat semenjak masih kecil, saya tidak pernah berobat ke dokter. Metode pengobatan saya saat sakit, cukuplah beristirahat total di atas kasur. Dua atau tiga hari, biasanya sudah pulih. Bahkan saya juga memiliki metode pengobatan yang dapat dibilang aneh, yaitu saat batuk, cukup ganti rokok ke kandungan yang menawarkan efek mint. Habis lima atau enam batang rokok, batuk saya hilang. Sembuh total.

Jadilah saya sebagai manusia yang sombong meski lembaga kesehatan dunia menyatakan bahwa virus tersebut sudah mendapatkan predikat sebagai wabah global dan patut dicap berbahaya. Semua umat manusia dihimbau agar tak keluar rumah, kecuali ada urusan mendesak. Itupun harus mematuhi protokol pencegahan sesuai yang diarahkan oleh mereka yang berwenang.

Namun, lagi-lagi,  tak berlaku bagi saya. Ya, saya masih beraktivitas keluar rumah, minum kopi di sebuah kafe padahal hanya sendirian, serta kegiatan-kegiatan tak penting yang sebetulnya sangat bisa ditunda lain waktu. Saya begitu bebal dan congkak.

Banyak sekali orang yang berusaha mengingatkan saya, sejak peringatan lisan hingga peringatan fisik. Pernah saya diusir saat sedang menikmati kopi dan rokokan di simpang jalan dekat pusat kota. Padahal waktu itu jalanan sungguh lengang dan hanya segelintir orang yang berada di sana dengan masker menutupi sebagian wajahnya.

Harusnya tak menjadi masalah, sebab selain saya, orang-orang di sekitar sana sudah mengenakan masker, sehingga meski saya memang terjangkit virus, secara logika tak dapat menularkan ke mereka. Namun tak lama kemudian saya didatangi tiga petugas keamanan dengan seragam lengkap, tentu saja beserta masker dan sarung tangan karet. Mereka berusaha meringkus saya ketika proses dialog tak mencapai konklusi. Saya dimasukkan ke mobil box yang pengap dan panas. Lantas saya diturunkan di depan pintu kebun binatang yang memang sangat sepi. Benar-benar tidak ada satu orang pun. Bahkan mobil yang melintas juga dapat dihitung jari. Apa sebab letak kebun binatang ini dekat dengan perbatasan kota, sehingga tak banyak orang yang keluar rumah saat malam hari?

Di sana saya memutuskan untuk merokok lagi. Satu batang rokok. Baru setelah itu memikirkan bagaimana caranya pulang ke rumah. Namun naas, saat botong rokok tinggal setengah, saya tertidur bersandar di gapura pintu masuk kebun binatang itu. Rokok saya tergeletak dan mati. Saya berada jauh di dalam mimpi, bertemu seekor gajah yang dirantai satu kakinya, dengan panjang rantai maksimal sejauh jaraknya ke wadah makanan dan minuman. Entah mengapa saya tertawa ketika melihat gajah itu kesulitan berjalan sebab rantai yang menahannya.

Tak lama, gajah tua itu memandangi saya dengan tatapan tajam dan serius. Tajamnya membuat tubuh saya bergetar dan keringat dingin membuat dahi basah. Saya ketakutan. Lantas tiba-tiba gajah itu berkata-kata seperti manusia, berbicara kepada saya, “Merasa senang menjadi manusia yang bebal, ya? Bagaimana kalau kita bertukar tempat?”Tuturnya dengan suara yang berat.

Seketika saya melompat dari posisi duduk menjadi berdiri. Keringat dingin di dahi memang betul ada, pun juga ketakutannya. Napas saya terengah sesaat bangun dari mimpi. Syukurlah, hanya mimpi.

Namun ada yang tak biasa dari tubuh saya. Kesadaran itu bermula saat kepala saya menyentuh rimbun ranting dan daun di pohon yang tinggi. Mata saya sejajar dengan kepala gapura kebun binatang itu. Bajingan. Saya telah berubah menjadi gajah muda! Yang mengejutkannya lagi, saya juga tak lagi dapat berbicara seperti manusia, saya hanya bisa mendenguskan udara. Bukan kata-kata.

Kamu tahu, kebingungan saat itu mengalahkan segala kekecewaan saya sebab sadar saya tak lagi menjadi manusia. Saya hanya ingin selamat sementara ini, tidak ingin dilumpuhkan atau ditembak mati oleh orang-orang yang melihat gajah di luar kebun binatang. Akhirnya saya menerabas pintu besi kebun binatang itu dan melompat ke kandang gajah. Di kandang tersebut, saya membayangkan betapa mengerikannya di tonton oleh pengunjung dengan kondisi satu kaki saya di rantai pada sebuah tiang raksasa, ditertawakan dan dilempari kacang oleh anak-anak kecil yang riang gembira.

Apakah kalian tidak tahu, diisolasi di sebuah kandang dengan ruang gerak kurang dari dua puluh meter, padahal tubuh saya sebesar truk yang beratnya hampir empat ton, adalah kesengsaraan sepanjang hidup bagi saya?

Sebelum tidur, saya meletakkan kemungkinan-kemungkinan terburuk selama saya menjadi gajah di kebun binatang biadab itu. Saya lelah berpikir yang entah kemana arahnya. Saya hanya ingin tenang. Ingin tidur pulas sebelum besok menjadi bahan tertawaan. Tapi, seorang pak tua di seberang kandang saya itu, semenjak tadi senyumnya menyeringai ganjil. Siapa dia? Ah, siapa yang peduli. Toh saya juga sudah menjadi gajah.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan